Bahaya Polarisasi Politik
Beberapa kali perpecahan karena polarisasi di Indonesia terjadi. Selain satu lawan satu pada masa tahapan. Bentrokan berlanjut setelah rekapitulasi penghitungan suara. Massa berdemo pada tanggal 21-22 Mei 2019 di Jakarta yang mengakibatkan kerusuhan dan 9 orang meninggal. Celakanya kubu mengkubu terus berlanjut dan mereda setelah Prabowo Subianto ditetapkan menjadi Menteri Pertahanan.
Bahaya laten menghadang jika kubu mengkubu terus dipelihara. Bisa mengakar dan memperkuat diri. Polarisasi yang merusak beroperasi pada satu perpecahan politik, yang dapat berupa identitas partisan, agama vs sekuler (Kasus Pencalonan Ahok di Pilkada Jakarta 2018), globalis vs nasionalis, perkotaan vs pedesaan, dan lain-lain. Perpecahan politik ini menciptakan ledakan ketidakpercayaan antar kelompok yang berkepanjangan.
Polarisasi politik juga berefek pada tata kelola pemerintahan. Somer, McCoy, Murat, Jennifer (2018) berpendapat, polarisasi berbahaya membuat kompromi, konsensus, interaksi, dan toleransi semakin mahal dan lemah bagi individu dan aktor politik di kedua sisi perpecahan. Polarisasi melemahkan penghormatan terhadap norma-norma demokrasi, merusak proses legislatif dasar, merusak sifat non-partisan dari peradilan dan memicu ketidakpuasan publik terhadap partai politik. Ini memperburuk intoleransi dan diskriminasi, mengurangi kepercayaan masyarakat, dan meningkatkan kekerasan di seluruh masyarakat.
Dalam situasi ini, bagi kubu yang berhadapan yang kalah biasanya mempertanyakan legitimasi lembaga yang memungkinkan pemenang menciptakan hegemoni, yang menyebabkan warga menjadi sinis terhadap politik. Politik sering dilihat sebagai permainan kekuatan referensial diri yang tidak ada hubungannya dengan orang.
Selain itu polarisasi yang buruk juga berefek pada kepercayaan publik. Masyarakat yang terpolarisasi secara berbahaya sering menyaksikan kontroversi publik atas pertanyaan yang dapat dibuktikan secara faktual. Para pemilih kehilangan kepercayaan pada lembaga publik.
Dukungan terhadap norma dan demokrasi menurun. Menjadi semakin sulit bagi orang untuk bertindak berdasarkan prinsip moral dengan menarik kebenaran atau bertindak sejalan dengan nilai–nilai seseorang ketika itu bertentangan dengan kepentingan partai. Setelah polarisasi merusak terjadi, ia mengambil kehidupannya sendiri, terlepas dari niat sebelumnya.
Menguatkan Akar Demokrasi Melalui Pedagogi Demokrasi
Polarisasi politik yang buruk mengakibatkan jurang antara publik-pemerintah-partai politik-penyelenggara semakin menganga. Akan sulit mengambil kebijakan diatas bayang-bayang ketidakpercayaan (distrust). Namun tetap upaya harus tetap dilakukan salah satunya melalui pendidikan.
Banyak ahli berpendapat bahwa politik dan pendidikan adalah sesuatu yang bertolak belakang dan tidak dapat disatukan. Namun berbeda dengan Abernethy dan Coombe. Keduanya mengungkapkan bahwa, “educations and politics are inextricable linked”. Yang artinya pendidikan dan politik terikat tanpa bisa dipisahkan.
Menurut Gandal dan Finn (1992) terutama di negara berkembang pendidikan demokrasi sering dianggap taken for granted or ignored (diterima begitu saja atau diabaikan). Padahal secara ideologis, kita percaya bahwa pendidikan demokrasi seyogyanya ditempatkan sebagai bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan.
Oleh karena itu pendidikan demokrasi perlu dilihat dalam dua setting besar, yakni school-based democracy education, yakni pendidikan demokrasi dalam konteks atau berbasis pendidikan formal, dan society-based democracy education, pendidikan demokrasi dalam konteks atau yang berbasis kehidupan masyarakat.