Oleh Adi Arwan Alimin
KAPAN ombak pertama kali jatuh hati pada Pasir? Bukan karena kecantikannya yang melegenda, meskipun putih tubuhnya melampaui keindahan mutiara yang pernah ia bawa dari dasar samudra. Tidak pula sebab kelembutan sentuhan bulirnya seperti sutra raja-raja purba. Ombak jatuh cinta pada Pasir lantaran diamnya berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang menyimpan luka menganga di dada.
Seperti seribu pagi sebelumnya, Ombak datang memanggul hadiah berupa kerang-kerang kecil berwarna pelangi, batu-batu halus yang telah disepuh selama berabad-abad di perutnya, dan sesekali mutiara yang terlepas dari cangkang remaja. Ombak meletakkan semua itu di hamparan Pasir amat hati-hati, seperti seseorang yang menyembah menaruhnya pada altar suci.
“Kau datang lagi,” bisik Pasir, suaranya yang terdengar seperti desau angin pada rerumputan liar.
“Aku selalu datang,” jawab Ombak.
“Enam detik sekali, tanpa henti, sejak pertama kali bumi melahirkan laut dan daratan. Sejak pertama kali aku melihatmu berbaring di tepian dunia ini, yang merentang batas paling karib antara aku dan langit.”
Pasir terdiam. Dari kejauhan, matahari mulai memanjati ufuk timur seolah merayu, menyebarkan cahaya keemasan yang membuat lekuk Pasir berkilau seperti hamparan berlian. Ombak menatapnya penuh kerinduan yang telah disimpannya jutaan gelombang.
“Mengapa kau mencintaiku, Ombak?” tanyanya pelan.
“Aku hanya diam di sini, tak pernah ke mana-mana, tak pernah memberimu apa-apa kecuali tempat untuk kembali setiap kali kau lelah mengejar horison.”
Ombak lalu tertawa. Itu seperti bunyi yang terdengar seperti gemerisik air memukul biji pasir. “Justru karena itulah aku mencintaimu, Pasir. Kau satu-satunya yang tidak pernah pergi dariku. Laut yang kulahiri menolakku melalui pasang surut. Bulan yang menarikku hanya bermain-main dalam buaian gravitasinya, memaksaku mengejar bayangannya yang tak pernah bisa kugapai. Tapi kau, Pasir. Selalu di sini. Setia menjaga waktu, abadi seperti keabadian itu sendiri.”
“Tapi aku bukan milikmu,” bisiknya lagi,
Suara Pasir bergetar seperti dedaunan yang ditiup angin badai.
“Aku milik pantai, milik Tanjung Bira, milik Bulukumba yang telah melahirkanku dari rahim batu karangnya. Milik mereka yang meraja tubuhku, mereka para pencari kerang, penenun jala, setiap pasang kekasih yang menuliskan janjinya.”
Ombak berhenti sejenak ketika menyimak kalimat itu. Gelombang serasa meredup menjadi riak-riak kecil yang mengelus tubuh Pasir dengan kelembutan yang nyaris menyakitkan.
“Aku tahu,” katanya pelan.
“Aku selalu tahu. Setiap pagi aku datang, dan melihat jejak kaki mereka di tubuhmu, jejak yang kau simpan begitu hati-hati, seolah itu mahkota yang dikenakan para ratu. Aku melihat bagaimana kau bergetar setiap kali seseorang menyentuhmu, bagaimana kau bersinar lebih terang ketika anak-anak berlari-lari sambil tertawa memecah keheningan pagi.”
“Lalu mengapa kau masih mencintaiku?” Pasir terdengar hampir putus asa.
“Mengapa kau menyiksa dirimu dengan datang setiap hari, membawa hadiah yang kau tahu aku tak bisa membalasnya?”
Ombak mengambil napas beratnya. Sebuah isapan panjang yang menarik seluruh samudra ke dalam dadanya. “Karena mencintai sayang, bukan tentang memiliki. Mencintai tentang menjadi lebih kaya di dalam jiwa, meskipun gelembung hatimu melompong. Aku mencintaimu bukan karena aku ingin mengubahmu menjadi air, menarikmu ke dasar laut, atau membawamu melintasi banyak benua. Tetapi kau mengajariku arti dari kesetiaan yang tidak meminta balas.”
Angin pagi lalu bertiup lebih kencang, membawa aroma garam dan kehidupan laut yang kaya. Burung camar mulai berdatangan, berkumpul dan menari-nari di udara dengan sayap-sayap putih, mereka membentang lebar seperti doa yang dipanjatkan ke langit.
“Kau tahu apa yang paling kusukai dari mencintaimu?” bujuk Ombak.
“Setiap kali aku datang, aku membawa pecahan diriku dalam buih, tetesan air asin, kabut yang menguap ke udara, sementara kau menerima apa adanya. Kau membiarkan airku meresap ke dalam tubuhmu, menyatu dalam renik bulirmu, meskipun kau tahu aku akan pergi lagi. Kau mengajariku bahwa cinta sejati membiarkan yang dicintai bebas, bahkan jika kebebasan itu berarti mereka akan meninggalkanmu.”
Dada Pasir bergetar. Untuk pertama kalinya sejak jutaan tahun terbentang di tepi Tanjung Bira, ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Sebuah kehangatan yang bukan datang dari matahari, sebuah kelembutan yang tidak dikirim oleh angin.
“Ombak,” kisiknya, “aku tidak tahu harus berkata apa.”
“Jangan mengatakan apa-apa,” lembut Ombak. “Cukup biarkan aku datang setiap hari. Biarkan aku mengelus tubuhmu bersama gelombang. Biarkan aku membawa hadiah-hadiah kecil yang mungkin tak pernah kau butuhkan. Biarkan aku mencintaimu dalam diam, seperti cara langit mencintai bumi. Saling berdiri dari kejauhan, tanpa pernah bisa menyatu, namun tak pernah terpisahkan.”
Matahari sudah naik lebih tinggi. Pantai mulai ramai, kehidupan bergerak, nelayan menarik perahunya ke daratan, anak-anak berlarian memainkan ember-ember kecil mencari kepiting, sepasang kekasih berjalan bergandengan tangan di tepi air.
Pasir memperhatikan mereka semua. Sambil merasakan setiap sentuhan kaki mereka, setiap tawa yang jatuh di tubuhnya, setiap cinta yang tertulis dalam jejak yang akan dihapus Ombak di sore hari.
“Ombak,” katanya tiba-tiba, “aku ingin memberitahumu sesuatu.”
Ombak mendekat, gelombangnya membesar seperti balon udara.
“Selama ini, aku pikir aku adalah milik mereka, manusia-manusia yang berjalan di atasku, yang mencintai keindahanku, yang mengagumi putihku yang bersih. Tapi sekarang aku mengerti, aku mencintai mereka bukan karena mereka memiliki aku, tapi karena aku memilih untuk menjadi tempat bagi kebahagiaan mereka. Sama seperti kau memilih untuk mencintaiku, meskipun kau tahu aku tidak bisa menjadi milikmu.”
Ombak seketika terdiam. Dadanya yang terbuat dari air dan garam, sesuatu yang menyerupai hati mulai berdetak dalam ritme yang berbeda. Seperti debur musim Oktober ini.
“Lalu,” bisik Ombak dengan suara yang hampir tak terdengar.
“Ini berarti,” potong Pasir amat manis, “aku mengerti sekarang. Mencintai bukan tentang dimiliki atau memiliki. Mencintai perihal menjadi saksi bagi kebahagiaan yang kita cintai, meskipun kebahagiaan ada kalanya datang dari tangan orang lain. Mencintai membuat jiwamu menjadi kaya, meskipun tangan kita hanya menabur angin. Mencintai seperti rumah bagi rindu yang tak pernah terpenuhi, namun justru dalam ketakberpenuhan itulah kita menemukan hakikat keabadian.”
Ombak mundur perlahan, meninggalkan jejak basah yang berkilauan di bawah matahari pagi. Untuk pertama kalinya dalam jutaan gelombang, Ombak merasa damai. Bukan damai karena cintanya terbalas, tetapi akhirnya ia mengerti: mencintai kekayaan batin paling tinggi yang bisa dimiliki, bahkan jika yang dicintai milik seluruh dunia.
“Aku akan datang lagi besok.”
“Aku tahu,” jawab Pasir.
“Aku akan menunggumu, bukan sebagai kekasih, tapi sebagai saksi bagi cintamu yang mengajariku arti kesetiaan.”
Ombak menyungging senyum. Ia segera cebur membawa kebahagiaan yang aneh, kebahagiaan mencintai tanpa harus memiliki, kebahagiaan menjadi kaya di jiwa, kebahagiaan yang merupa bagian dari cerita cinta yang paling indah.
Di tubir Tanjung Bira, pasir berbaring bersarung remah putih yang melegenda, akhirnya ia mengerti bahwa dicintai bukan sebab kesempurnaan, tapi karena dia mengajarkan seseorang tentang makna kesetian.
Ketika bulan menggantung rendah di langit, dan bintang-bintang menari mengarak cahaya perak, Pasir berbisik pada angin. “Ombak mencintaiku dengan cara yang tak pernah kusangka mungkin. Ia mencintaiku tetapi membiarkan aku menjadi milik semua orang. Dan, dalam cinta yang membiarkan itulah aku menemukan kebebasan terbesar yang pernah kumiliki.”
Ombak, mendengar bisikan itu. Dalam diam, lalu datang lagi bersama kesetiaan gelombang, mengantar cinta yang tak memudar. Ombak memahami Pasir milik semesta yang harus dibaginya sebagai nasib baik. (*)
Tanjung Bira, 3 Oktober 2025