Akhir tahun 2018 saya ikut berdiskusi dengan teman-teman komunitas literasi di Mamuju namanya Resensi Institute. Mereka punya sistem dan kebiasaan sendiri dalam berdiskusi. Mereka melandaskan semua diskusinya berdasarkan buku. Terkadang buku digunakan untuk membantah sebuah buku.
Untuk memaparkan isi buku, perlu meresensi buku terlebih dahulu. Resensi maksudnya re (mengambil ulang) dan esensi (hakikat, inti, hal yang pokok) jadi artinya mengambil ulang hakikat dari buku yang telah dibaca.
Resensi buku adalah jembatan mempertemukan bacaan dan ingatan kita. Menyelesaikan bacaan tanpa menuliskannya dan menanggapinya akan hilang begitu saja. Bacaan perlu diikat dengan meresensinya. Kegiatan menuliskan resensi membantu membentuk skill berpikir sistematis dan kritis. Hal ini akan membantu skill menulis kita.
Menulis Holistis
Manurut Iqbal Aji Daryono, alat dan bahan tulisan adalah objek. Kita memerlukan objek untuk dimaknai atau dinilai. Untuk menilai objek tersebut kita memerluka rasa ingin tahu serta sikap ragu-ragu. Perlu juga mengkritisi objek tersebut dan membumbuinya dengan imajinasi. Sehingga terciptalah output berupa bahasa yang kita sebut sebagai sebuah tulisan.
Tulisan yang tersusun dari bahasa tersebut mencerminkan isi otak kita. Semakin semrawut maka itulah isi otak kita. Maka perlu logika yang baik dalam berbahasa atau perlu memiliki nalar yang baik dalam berbahasa. Kalau bahasa kita tidak nyambung berarti logika kita cacat.
Selain nalar berbahasa yang baik, perlu juga cita rasa berbahasa yang baik. Bahasa dalam sebuah tulisan tidak boleh kaku, harus estetik dan enak dibaca misalnya penuh rima. Dan yang terakhir perlu kekayaan kosakata untuk meracik tulisan yang baik.
Dalam buku Membangun Generasi Literasi karya Hartono Tasir Irwanto, dijelaskan bahwa menulis holistis adalah mencoba menuliskan kembali renungan dan perbandingan dari buku yang sudah kita baca dengan buku lainnya yang pernah kita baca, bisa pula dengan realitas yang terjadi, peristiwa yang aktual yang terjadi disekeliling kita dan perenungan berdasarkan perspektif kita.
Dan ini sama halnya memproduksi gagasan baru. Baru dalam versi kita tentunya, karena didunia ini tidak ada yang betul-betul baru. Baru dalam arti menyempurnakan yang sudah ada.
Masih dalam buku yang sama, disebutkan bahwa alasan atau paradigma kita dalam menulis dibagi menjadi 5 yaitu spiritual, kesehatan, kecerdasan, sosial dan finansial. Apapun alasan kita mulai menulis, tidak menjadi masalah. Tetaplah menulis sesuai minat dan genre yang disukai.
Jika kita sudah sedikit naik level dalam menulis dalam artian kita sudah tidak kesulitan lagi untuk menulis 2 halaman sekali duduk maka kita perlu mengetahui kategori dari isi tulisan kita yang saya sebut neuro-holistic writing yaitu menulis holistis berbasis fungsi luhur otak manusia. Fungsi luhur otak manusia ada 3 yaitu berpikir, merasa (emosion) dan bergerak (menggerakkan).
Ada jenis tulisan yang hanya berisi argumen dan pengetahuan baru, mengajak kita untuk memikirkan ulang sesuatu yang mapan maka itu kategori tulisan yang berpikir. Ada jenis tulisan yang penuh dengan cerita emosional, romantic dan penuh dengan inspirasi serta motivasi maka itu kategori tulisan merasa.
Dan tulisan yang membuat kita langsung bergerak mempraktikan isi buku maka itu tulisan tipe menggerakkan. Neuro-holistic writing adalah tulisan yang memuat ketiganya sekaligus. []