Oleh: Fiqram Iqra Pradana (CEO Manabrain Institute)
Menulis adalah salah satu skill yang penting untuk menunjang peningkatan karir dalam semua lini kehidupan terutama dalam bidang Akademis. Namun pernahkan skill ini diasah dalam jenjang pendidikan kita semisal pada jejang sekolah dasar, menengah atau bahkan Perguruan Tinggi? Atau dengan pertanyaan yang lebih spesifik, pernahkah menulis menjadi sebuah mata pelajaran?
Materi menulis mungkin masuk dalam serpihan materi pelajaran Bahasa Indonesia, namun sebagai pelajaran yang perlu dipraktekkan dan diujikan, saya pribadi belum pernah mendapatkannya.
Oh iya, saya pernah ingat belajar menulis huruf tapi itu waktu Taman Kanak-kanak (TK), sedangkan dijenjang selanjutnya tidak pernah diasah lagi. Keberhasilan menulis bukan hanya sekedar kepandaian kita mengulang huruf sesuai dengan kaidah, namun menulis yang dimaksud adalah kemampuan menyusun argumentasi, ide dan kebaruan (novelty) yang kita pikirkan sendiri.
Dampak yang dihasilkan dari kurang seriusnya mengasah kemampuan menulis adalah plagiasi. Jangan heran jika sampai tahap menjadi Mahasiswa, masih kerap ditemui plagiasi dipraktekkan.
Sebenarnya saya sangat menentang pelarangan plagiasi diperguruan tinggi karena dijenjang pendidikan sebelumnya, siswa tidak pernah dibiasakan menulis. Guru di sekolah lebih suka memberikan ujian dengan tuntutan jawaban harus sesuai dengan isi buku. Disinilah letak masalahnya.
Seharusnya pembuatan kebijakan harus dilandasi penelitian terlebih dahulu, agar kebijakannya tidak menjadi belenggu. Saya yakin, semakin Mahasiswa dilarang melakukan plagiasi, maka makin sering ia berplagiasi.
Mulai Menulis
Jika ditanya, kapan pertama kali saya menulis dengan serius maka saya katakan pada tahun 2015. Terlambat? Tentu saja. Karena saya sudah masuk semester 4 perkuliahan. Dan saya harus jujur semua makalah, paper dan semua tugas-tugas saya sebelum semester 4 perkuliahan adalah hasil plagiasi alias copy paste.
Salahkah yang saya lakukan? Tentu saja salah. Namun saya perlu realistis. Saya perlu mendapatkan nilai dari dosen dengan menggugurkan kewajiban menyetor tugas walaupun hasil copy paste dari buku atau internet. Kira-kira berapa banyak yang persis melakukan seperti yang saya lakukan? Bagaimana dengan Anda?
Menyadari keadaan, tentu satu langkah lebih maju dibandingkan hanya ikut-ikutan tanpa tahu apa yang sedang terjadi. Sejak saat itu saya memutuskan mulai belajar, berusaha mengetik dilaptop satu halaman full tanpa melihat buku, semuanya berasal dari apa yang saya pikirkan dan rasakan kemudian menyertakan perbandingan.
Ketika menulis, sering sekali saya membuka kamus atau search di google mengenai arti atau pengertian kata tertentu. Intinya saya berusaha yakin dengan diri saya sendiri tanpa terlalu bergantung dengan isi buku untuk di copy paste.
Apakah saya langsung bisa menulis? tentu tidak. Walau sejak sekolah menengah, saya sudah rajin membaca, namun mental blok yang terbentuk bertahun-tahun menjadikan saya mengalami toxic perfectsionis (menuntut hasil yang sempurna). Sedikit demi sedikit saya menghancurkan mental blok itu dengan cara terus menulis.
Seperti kata bijak, seorang profesional berawal dari amatiran. Terus mencoba. Tulis dan tulis.
Resensi Buku
Kegiatan menulis tanpa membaca tentunya membuat penulis menjadi kekurangan bahan dan perspektif sehingga menjadi penulis wajib banyak membaca. Walaupun sejak berada di sekolah menengah saya sudah rajin membaca buku namun baru praktik menulis 5 tahun berikutnya.
Membaca membantu saya menuangkan ide dan gagasan dalam menulis, namun ternyata skill menulis adalah hal lain yang perlu diasah. Dari tahun 2015 sampai tahun 2018 saya sudah rajin menulis di blog pribadi bahkan sudah mengirim beberapa tulisan ke platform literasi atau website yang menerima tulisan esai dan artikel.