Sejak saat itu, cita-citanya berubah menjadi pebisnis yang ingin punya banyak toko agar bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi orang-orang yang membutuhkan. Ia sangat menyukai dunia bisnis, itu terlihat dari ketelatenannya mengurusi toko A’ba nya.
Tetapi bukan berarti ia sepenuhnya merasa senang. Menjaga toko dari kelas lima SD sampai SMP kelas sembilan, membuatnya harus merelakan kebebasan masa kecilnya. Tidak jarang ia merasa betapa beruntungnya anak-anak seumuran dia bisa bermain dengan teman-temannya dengan begitu menyenangkan, sementara dia hanya bisa bermain dengan perabotan-perabotan di toko, menyusunnya seolah-olah ia bermain masak-masak dengan adegan yang diperagakannya sendiri. Belum lagi, ia harus merelakan hari liburnya. Minggu memang hari yang paling ditunggu-tunggu pada masa itu. Mulai dari jam lima pagi, di televisi akan tayang film-film kartun pavorit yang diputar sehari penuh. Tetapi, alih-alih nonton kartun, pagi-pagi sekali ia harus mandi dan bersiap ke pasar, menjual perabotan seperti biasanya.
Di beberapa kesempatan ia selalu merasa sedih dan membandingkan dirinya dengan anak-anak di luar sana. Hanya satu prinsip yang tak pernah ia lepas, bahwa pengalaman-pengalaman ini pasti akan ia butuhkan di hari kemudian. Hari-hari yang lebih menyeramkan dari masa kecilnya. Hari di mana, orang-orang bingung harus menjalani hidup seperti apa. Biaya hidup semakin tinggi, sedangkan ekonomi rendah, lapangan pekerjaan semakin sempit, hingga tidak jarang orang banyak menghalalkan segala cara agar tetap dapat bertahan hidup. Mencuri, menipu, merampok, tentu menjadi lebih mulia ketika lambung sudah tidak tahu harus mencerna apa lagi selain dinding dan darahnya sendiri.
Beberapa menit setelah blender berhenti. Ia menyodorkan jus sirsak, “ini”, sambil meletakkannya di meja kayu persis di samping kiri saya. Setelah itu Ia bercerita panjang mengenai pelanggannya hari ini, rasa jenuh yang tertawarkan seketika saat ia bermain hago, dan masih banyak lagi. Beberapa hal dapat ku respon, selebihnya hanya lewat begitu saja. Heheh.
Mutmainna, nama lengkapnya. Memang adalah perempuan yang hebat. Pengalaman-pengalaman masa kecilnya membawanya menjadi orang yang enggan bergantung pada siapapun. Saat jenuh, ia senang sekali nonton drama Korea. Sampai sekarang ia meyakini bahwa alur cerita dalam drama itu, pasti adalah cerita yang diangkat kembali dari cerita orang-orang di dunia nyata.
Salah satu drama Korea yang yang berhasil menginspirasinya ketika mendapatkan masalah di dunia kerja, bahkan menjadi penyumbang semangat besar dalam kisah hidupnya ialah The Heirs. Drama Korea yang menceritakan tentang kisah perempuan pekerja keras bernama Cha Eun Sang yang melakukan berbagai macam pekerjaan demi kelangsungan hidup dan pendidikannya. Ia selalu mengibaratkan sosok Cha Eun Sang itu seperti dirinya.
Beberapa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya memang hampir mirip dengan kisah yang diperankan Cha Eun Sang. Bedanya, ia sebetulnya dapat saja rebahan di kasur ketika waktu senggang atau libur kuliah, fokus pada pendidikan seperti nasehat yang selalu diberikan oleh orang tuanya, tanpa benar-benar harus bingung karena memikirkan hari ini harus makan apa—seperti kisah Cha Eun Sang di drama The Heirs itu. Tetapi kedewasaan yang terbangun kokoh dalam dirinya membawanya pada fase sekarang ini—kegigihan dan ketekunan demi menggapai mimpi yang telah lama ia cita-citakan.
Ia selalu berharap dan berdoa kepada Tuhan, semoga memiliki ending cerita hidup yang bahagia seperti tokoh dalam drama Korea pavoritnya itu. []