Ia hanya tahu bahwa ia begitu ngantuk malam ini. Dan esoknya, matahari membangunkan matanya. Ia tahu, alarm nya pasti akan berbunyi pas jam tujuh nol-nol. Waktunya Bekerja.
***
Di balik pentilasi kaca pemisah antara penjual dan pembeli, ia terlihat sedang menggunakan gawai sambil menunggu pembeli jus, susu, dan salad buah—hari itu, saat saya berkunjung ke sebuah kedai minuman di Jl. Mojo, Yogyakarta, tempatnya bekerja. sebelum akhirnya ia melihat saya, saya lebih dulu menyapanya.
“inna !”, panggilannya. Ia membalas sapaan saya, lalu mempersilahkan masuk ke kedai yang berukuran kurang lebih 2 x 3 meter itu. Sudah satu bulan lebih ia bekerja, terhitung sejak beberapa hari setelah kepulangannya dari kampung halamannya di Campalagian, Sulawesi Barat.
Saya memesan satu jus sirsak, sesaat setelah basa basi soal aktifitas hari ini. Sangat sering saya berjumpa dengannya, tetapi ini baru kali ke dua saya berkesempatan singgah di kedai itu. Saya duduk di depan pintu. Persis di hadapan saya, ia terlihat sibuk membuat jus sirsak pesanan saya.
Ia memang perempuan mandiri dan pekerja keras, beberapa hal dilakukannya dengan begitu telaten. Membuat jus sirsak adalah bagian terkecil, selebihnya saya selalu kagum tentang bagaimana ia mengatur waktu kerja, kuliah, dan juga organisasi.
Di UIN Sunan Kalijaga, ia mengambil jurusan Studi Agama-Agama angkatan 2018, dan nimbrung di Unit Kegiatan Mahasiswa yang fokus pada layanan difabel, juga organisasi daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Yogyakarta—divisi kewirausahaan.
Beberapa orang mungkin merasa kewalahan membagi waktu antara kuliah dan organisasi, ditambah lagi beban kerja. Tetapi tidak baginya. Meski berasal dari keluarga dengan tingkat ekonomi menengah-atas, tidak menjadi alasan untuknya bersantai dan bermalas-malasan. Perasaan tanggung jawab yang dipikulnya lah yang menjadi alasan utama.
Sudah sangat sering saya mendengar ia berceloteh soal hidupnya, sambil jemarinya memastikan berapa usianya saat ini, terhitung dari tahun 1998. Setelah itu, saya tebak, pasti ia akan mengatakan “Duh. di umur 21 ini, saya belum menjadi apa-apa”, sambil merenungi kembali mimpi besar yang ingin sekali ia capai.
Dulu, saat SD, ia bercita-cita menjadi Guru, beberapa minggu kedepan berubah menjadi Dokter, beberapa tahun kemudian, setelah ia menginjak kelas 5 SD cita-cita nya berubah menjadi pebisnis. “Saya ingin sekali membuka lapangan pekerjaan untuk orang-orang yang membutuhkan” ungkapnya setiap kali ia bercerita soal mimpi besarnya. Ini bermula saat ia menyaksikan beberapa buruh di pasar dengan upah yang tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Mengangkat, menurunkan barang dari truk, memikul, dan memindahkannya ke toko.
Sejak SD kelas lima, ia sering sekali ikut ke pasar, menjual perabotan rumah tangga dan barang pecah belah di toko yang telah lama dikelola oleh A’ba (bapak) nya. Awalnya, ia hanya melihat-lihat bagaimana A’ba nya menyusun dan menghitung barang, melabeli harga pada setiap barang, serta bagaimana melayani pembeli dengan baik. Ini membuatnya bisa meghafal harga setiap barang. Tak berlangsung lama, di kelas enam SD ia sudah dipercaya menjaga toko.
Hal terburuk baginya, ialah ketika beberapa langganan toko malah meremehkan. Seakan tidak percaya, anak SD seperti dia bisa berdagang. Sebelum akhirnya A’ba nya memperkenalkan ia ke setiap pelanggan yang datang. Setiap kali ada pelanggan yang bertanya soal harga barang, ia selalu berkata, “tanyakan saja ke dia (sambil menunjuk inna), dia yang tahu harga barang”. Sejak saat itulah, ia mulai percaya diri menjaga toko sendirian. Sementara A’ba nya mengurusi empang, pekerjaan pokok di samping berjualan perabotan di toko. (Lanjut ke Halaman 2)