Menurut dokumen resminya, MT. Rachmat lahir di Campalagian 31 Januari 1919 dan wafat di Sidorejo, Wonomulyo, 18 Agustus 1989.
Proses perjuangan memperebutkan kemerdekaan, MT. Rahmat adalah seorang komandan yang memiliki ratusan pasukan. Ia dipercaya oleh Hj. Maemunah dan Djud Pantje untuk konsentrasi di wilayah Balanipa dan Campalagian.
Namanya cukup terkenal di kalangan pejuang GAPRI 5.3.1 dan Kris Muda Mandar. Pada 4 Februari 1947, ia dan pasukannya berhasil dibekukan dan dipenjarakan di Tangsi Militer Majene.
Sebagian pasukannya dibawa ke Polewali dan Pinrang untuk dieksekusi langsung. Di Majene ia juga nyaris ditembak mati di Pekuburan Cina andai saja tidak segera ada perintah agar ia tak ditembak karena masih dibutuhkan keterangannya.
Pada proses selanjutnya, ia dikerangkeng dan diborgol untuk dipindahkan ke penjara Mamasa. Ia dikirim ke Mamasa dengan cara satu borgol dengan Djud Pantje. Selanjutnya dikirim ke Makassar untuk proses uji verbal di pengadilan.
Setelah proses penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949 ditandai dengan pembubaran Negara Indonesia Timur (NIT), ia dibebaskan.
Di Makassar ia dijaring menjadi salah satu pejuang yang diangkat menjadi tentara resmi tapi pasukannya banyak yang tidak memenuhi syarat sebagaimana ketetapan Kawilarang. Kondisi ini membuat MT. Rahmat berafiliasi ke gerakan yang dilakukan oleh Kahar Mudzakkar.
Tahun 1953, ia bersama Sunusi Tande menghadap ke Kahar Mudzakkar di Palopo. Dari sana, konferensi Pumbijagi digelar sekaligus menandai bahwa gerakan pemebrontakan DI/TII di Mandar telah resmi masuk.
Ia konsentrasi membina dan melatih pasukannya menjadi gerombolan DI/TII. Pasukannya ikut memperkuat barisan dalam memperjuangkan rakyat yang tertindas oleh sepak terjang pasukan Andi Selle.
Dalam perjalanannya, ia dan Sunusi Tande terlibat perbedaan pendapat yang membuatnya kembali memilih bergabung ke kesatuan (tentara RI) untuk menumpas gerombolan DI/TII Kahar Mudzakkar/Sunusi Tande yang berpusat di Tande dan berjuang untuk melawan gerakan Bn. 710 yang pasukan TBO-nya juga dikenal menyengsarakan rakyat.
Front Pembebasan Rakyat Tertindas adalah organisasi pertahanan rakyat yang digagas oleh beberapa tokoh pejuang kemerdekaan Republik Indonesia, terdiri dariĀ Much. Tahir Rachmat, Baharuddin Lopa, SH, Letkol Abdul Majid, Letnan Amir dan beberapa tokoh masyarakat dan pejuang Mandar.
Dari sini MT. Rahmat terus mengobarkan perjuangan hingga tahun 1964 saat pasukan Andi Selle dan TBO-nya berhasil dilumpuhkan oleh tentara Jawa.
Abd. Gani Saleh
Abd. Gani Saleh adalah putra Mandar kelahiran Kandemeng Batulaya. Ia hanya tamatan SD Belanda ditambah pernah belajar di Pesantren di Sengkang. Menurut Nurdin Hamma (2018), ayahnya adalah seorang tukang kayu yang dipakai oleh Imam Lapeo saat membangun masjid di Tappalang. Pada saat pembangunan masjid di Tappalang itulah istrinya melahirkan dan diberi nama oleh Imam Lapeo Abd. Gani Saleh.
Pada masa awal kemerdekaan (September 1945), ia merupakan parner sejati Abd. Wahab Anas dan Abd. Haliem AE dalam mengobarkan semangat kemerdekaan. Ia juga salah satu dalang pengibaran bendera merah putih di bundaran pertokoan Majene kala itu. Insiden pemukulan salah satu pemuda dan pengibaran bendera membuatnya harus berurusan dengan kepolisian.
Abd. Gani Saleh terakhir tercatat sebagai pimpinan media Lembaran Nasional, salah satu media pertama di Mandar yang dicetak dengan sangat sederhana, menggunakan mesin-tulis dengan oplah satu rim.
Keistimewaan yang dimiliki media ini karena dicatat dalam sejarah sebagai Mass Media Republik Indonesia pertama di Daerah Mandar.
Memilih merantau ke Jakarta karena kondisi Mandar saat itu tak membuatnya nyaman untuk belajar. Jakarta adalah pilihannya. Di sana ia menjadi Pimpinan Surat Kabar Jakarta Raya pada tahun 1953-1956. Saat itu, Husni Djamaluddin, HM. Riri Amin Daud tinggal di rumah Abd. Gani sehingga memungkinkan ia bisa mengendalikan surat kabarnya.
Surat Kabar Jakarta Raya yang dipimpinnya tersebut dibreidel oleh pemerintah Orde Lama sebab memuat berita pelanggaran yang dilakukan oleh Menteri Perekonomian (Kabinet Ali).
Sebelum berita itu dimuat, Abd. Gani Saleh sudah memprediksi bahwa konsekuensi dari berita pelanggaran itu akan berujung pembreidelan medianya dan bisa jadi berujung dengan penjara.
Riri Amin Daud tetap bersikukuh untuk memuat berita tersebut dan menyanggupi jika harus ada yang dipenjara, maka dirinya siap.
Apa yang diperkirakan oleh Abd. Gani memang terjadi. Media dibreidel dan Riri Amin Daud harus mendekam dalam penjara. Saat Riri dipenjara, ternyata ia intens komunikasi dengan Adam Malik dan Haerul Saleh yang saat itu duduk dalam Kabinet Gotong Royong. Riri Amin Daud bebas dari penjara berkat bantuan Adam Malik.