Catatan: Muhammad Munir
Pengantar
Melawan lupa adalah ungkapan yang mengajak untuk tidak melupakan masa lalu, terutama peristiwa penting dan orang-orang yang berjuang demi perubahan atau kemerdekaan, tetapi sering kali dilupakan atau tidak diakui dalam sejarah resmi.
Dalam konteks para pejuang yang tidak dicatat dalam sejarah, ungkapan ini mengingatkan kita bahwa banyak pahlawan dan aktivis yang kontribusinya tidak terdokumentasikan dengan baik, atau bahkan sengaja diabaikan karena berbagai alasan, seperti perbedaan ideologi, politik, atau kekuasaan.
Mengabaikan mereka adalah bentuk ketidakadilan sejarah. Sebaliknya, “melawan lupa” berarti mengupayakan agar mereka yang terlupakan ini mendapatkan pengakuan yang layak, baik melalui penelitian, penulisan sejarah alternatif, atau melalui upaya masyarakat untuk memperingati dan mengenang jasa-jasa mereka.
Dengan begitu, kita dapat menghormati seluruh perjuangan yang telah dilakukan untuk masa kini, dan tidak membiarkan kontribusi penting mereka hilang ditelan waktu.
Hari ini, kita kembali memperingati Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1945 yang tahun ini menapaki usia 79 Tahun. Ini tentu bukan waktu singkat dalam perjalanan sebuah bangsa bernama Indonesia.
Tulisan berjudul “Menolak Lupa: Membangun Kesadaran Kolektif Lewat Kenangan” saya anggap sangat prinsip dalam menjaga ingatan bersama sebagai alat untuk mempertahankan identitas, sejarah, dan kebenaran.
Ini harus menjadi pijakan untuk membahas bagaimana kenangan—baik personal maupun kolektif—dapat menjadi landasan bagi kesadaran masyarakat terhadap isu-isu penting, sejarah yang terlupakan, atau nilai-nilai yang harus dijaga.
Harapan tentunya, tulisan ini juga bisa mengeksplorasi bagaimana kenangan bisa digunakan untuk melawan narasi yang salah atau kelupaan yang disengaja.
Mereka Yang Terlupakan
Subtema tulisan “Mereka yang Terlupakan dalam Sejarah” adalah langkah yang saya ambil seiring dengan upaya menjelajahi kisah-kisah individu, kelompok, atau peristiwa yang tidak mendapatkan perhatian yang layak dalam catatan sejarah resmi.
Sepanjang Agustus ini, saya melakukan sejumlah penjejakan, penelusuran dan napak tilas dan berhasil menggali kontribusi, perjuangan, atau penderitaan orang-orang yang dilupakan oleh narasi utama sejarah, baik karena alasan politik, sosial, atau budaya.
Beberapa tokoh sejarah yang terlupakan itu antara lain I Masa (1911-1989). Ia adalah sosok penerima gelar “Ibu Seluruh” sebagaimana Andi Depu dengan gelar “Ibu Agung” yang sama-sama disematkan langsung oleh Presiden Sukarno pada tahun 1962 di Mattoangin Makassar.
I Masa lahir di Lekopa’dis pada tahun 1911 dan wafat di Lapeo Campalagian pada tanggal 26 November 1989.
Tokoh lain yang juga terlupakan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Mandar adalah Abd. Madjid Salam atau yang terkenal dengan sebutan Majidong. Ia adalah sosok pemuda yang memimpin peristiwa pengganyangan Bendera Belanda di atas Kapal BO Belanda pada Oktober 1945 di Majene.
Pagi itu, sekitar pukul 08.00 sebuah kapal berbendera Belanda berlabuh di Pelabuhan Majene. Ini merupakan pancingan Belanda yang berharap bisa turun ke darat untuk mengukuhkan kedudukannya kembali di Mandar.
Tapi kenyataannya, ia justru dipertemukan dengan sejumlah pemuda pejuang yang rata-rata tak pernah berhitung resiko sejak mereka tau bahwa Indonesia telah merdeka.
Para pemuda itu berkumpul di pelabuhan dan bersiap menyerang kapal Belanda dengan menggunakan sampan model perahu pojala.
Mereka adalah Majidong, Kulluma, Dardi dan Lembang serta sejumlah pemuda lainnya yang berjumlah tiga buah sampan. Mereka merapat ke kapal dengan teriakan “Pulang, Ini daerah merdeka.”
Mereka terus mendekat ke kapal Belanda, sementara Majidong dan kawan kawan telah memanjat ke kapal. Setiba di kapal, ia langsung mematahkan tiang bendera Belanda dengan tiga warna (merah, putih dan biru). Peristiwa ini diikuti dengan komando “Tawan orang-orangnya, kapalnya kita belah.”
Melihat aksi nekat para pemuda pejuang tersebut, masinis kapal cepat cepat menghidupkan mesin dan membongkar jangkar dan lari meninggalkan pelabuhan Majene. Sementara para pemuda itu berlompatan dari kapal sambil membawa sobekan bendera yang tinggal dua warna, merah dan putih (warna birunya disobek dan dibuang).
Mereka disambut oleh warga dan para pejuang dengan pekikan merdeka. Kejadian tersebut disaksikan oleh Petor Besar dengan sorot mata tajam yang menggambarkan ketidaksenangannya dengan para pejuang itu.
Sampai di sini, tulisan ini saya maksudkan sebagai seruan untuk merevisi sejarah dengan lebih adil dan menyeluruh, memastikan bahwa semua suara dan pengalaman diakui dan dihargai. Ini juga sekaligus refleksi mendalam tentang siapa yang menentukan sejarah dan bagaimana ingatan kolektif dibentuk.