(Pelayaran Riset dalam rangkaian Festival Teluk Mandar Part II)
Oleh : Ramli Rusli
“Teluk itu adalah bagian laut yang menjulur kedaratan yang berbentuk cekungan dan diapit tanjung. Sedangkan tanjung merupakan daratan yang lebih condong menjulur kelaut yang biasanya mengapit teluk dalam sebuah garis pantai. Lalu Teluk Mandar itu sendiri dapat dilihat dari tanjung Rangas hingga paku, namun yang menjadi pembatas teluk mandar tersebut adalah muara sungai sa’dang.” Itu kira-kira penjelasan yang dapat dipetik dalam sebuah diskusi senja bersama Muhammad Ridwan Alimuddin dan beberapa kawan-kawan dalam pelayaran bersama dengan Perahu Pustaka “Membacaku” saat menambatkan perahu di desa Lekopa’dis pinggir Sungai mandar.
Pelayaran sisir pesisir Teluk Mandar ini, merupakan pelayaran edukasi untuk mengenal lebih jauh teluk mandar, sebagai teluk terbesar digaris pantai Sulawesi pada umumnya. Perairan baratdaya Sulawesi sepertinya dapat diterjemahkan sebagai perairan segitiga, karena dititik ini merupakan pertemuan arus antara laut jawa, laut Flores dan selat Makassar yang didalamnya terdapat teluk mandar dari garis lintas segi tiga arus tersebut. Didepan perairan teluk mandar, merupakan jalur pelayaran international. Tak jarang kita menjumpai lalu lalang kapal-kapal besar yang hendak ke kota-kota di Indonesia maupun ke Negara-negara Asia dan Europa.
Masyarakat mandar lebih di kenal sebagai pelaut tangguh, sebab mereka pengarung laut yang dalam. Teluk dikawasan barat Sulawesi ini, salah satu laut terdalam diantara beberapa teluk yang ada di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari budaya tangkap ikan yang dilakukan hampir semua masyarakat pesisir dengan menggunakan rumpon (roppong) sebagai salah satu tradisi nelayan laut dalam. Laut mandar adalah laut maut, bagi yang tak mampu menjinakkannya. Nah, dari dulu kepiawaian para pelaut mandar sangat fasih menepuk ombak dalam mengembarai gelombang. Mereka juga matang dengan mantera-mantera laut, untuk menjinakkan kekuatan badai maupun mitos-mitos yang dikeramatkan dalam riwayat laut nusantara. Maka tak heran jika para pelaut mandar yang memakai perahu sande’ dapat menaklukkan kawasan Austronesia sebagaimana yang di uraikan beberapa penulis dalam bukunya.
Selain pinggir sungai Mandar desa Lekopa’dis, juga di pulau Gusung Toraja (Pasir Putih) sebagai tempat kami berlabuh dan bermalam selama pelayaran. Perjalanan riset Teluk Mandar ini berangkat dari desa Pambusuang dan berlayar ke arah tanjung Rangas Majene. Kemudian susur sungangi Mandar. Sejenak mampir di Gonda wisata Mangrhove, sebelum berlabuh di desa Buku. Berbenah di pantai To Nyamang. Lalu menyapa muara sungai sa’dang dan menuntaskannya di pulau Gusung Toraja (Pasir Putih), sebelum kembali ke alam Wisata Maghrove di Gonda. Perjalanan ini adalah pelayaran bersama berbagai komunitas diantaranya; V-oric Majene, Komuniatas seni dan budaya yang menjalankan misi riset teluk mandar. Armada Pustaka dengan kegiatan Literasi oleh Perahu Pustaka “Membacaku” yang menggelar buku untuk anak di beberapa titik. Sahabat Pesisir yang melakukan pendokumentasian wilayah pesisir, serta beberapa awak media cetak dan On Line sibuk dengan catatan untuk sebuah berita.
Setelah melalui tanjung baurung, perjalanan dihadang angin dan gelombang yang tidak memungkinkan sampai di tanjung Rangas sebagai titik rute perjalanan hari pertama. Dari sini kami banyak temukan terumbu karang yang telah rusak, terutama didepan tanjung Baurung majene yang terlihat hitam. Beberapa ruas garis putih diantara karang yang rusak, diketahui sebagai jalur keluar masuknya perahu dan kapal-kapal kayu di pantai tamo. Sepanjang garis pantai Teluk Mandar, terlihat hingga 80% terumbu karang mengalami kerusakan.
Masih banyak hal yang menjadi catatan penting dari perjalanan 2 malam 3 hari ini. Tentang penyu-penyu yang mulai terancam habitatnya sepanjang teluk. Tentang pulau Gusung Toraja yang mulai mengalami abrasi dan kotor dengan sampah-sampah pengunjung dan tentang tradisi meracun ikan dengan potas yang kami temukan di sekitar perairan binuang pada malam dini hari. Berbeda dengan hutan mangrhove, di beberapa titik kritis abrasi, telah terlihat ratusan bakau atau mangrhove yang baru selesai ditanami dan dilestarikan oleh pemerhati lingkungan di pesisir kabupaten majene dan Polewali Mandar. Namun masih banyak ruas-ruas pantai kedua Kabupaten tersebut yang butuh penanaman bakau atau budidaya mangrhove sebagai benteng pertahanan dari abrasi. Tentu, kampanye aksi penyelamatan ekosistem teluk mandar butuh kepedulian semua pihak, dan keberpihakan peraturan daerah sangat diharapkan dalam mencegah ancaman kerusakan yang lebih serius dan bukan tidak mungkin akan mengancam keberlangsungan biota laut akibat kerusakan pesisir teluk ini.
Hal lain yang menarik dalam sisir pesisir teluk mandar ini, terdapat jejak-jejak pelabuhan tua di beberapa titik pantai yang seolah masih menyimpan cerita akan sebuah peradaban yang maju masa lalu. Pelabuhan-pelabuhan tua itu merupakan symbol kejayaan masa lalu yang menjadi penanda bahwa teluk mandar pernah menjadi simpul perdagangan besar antar Negara. Beberapa yang masih berjejak adalah pelabuhan Majene dan pelabuhan Tangnga-Tangnga Tinambung. Walau kini sudah tak dipfungsikan, dan diantara beberapa pelabuhan yang hanya tinggal nama seperti pelabuhan Tammangalle, pelabuhan Ba’ba Toa Lapeo, pelabuhan gudang desa Buku dan pelabuhan Taka Tidung Polewali yang kesemuanya kini tak mampu bersolek akan kejayaaan masa lalu.
Pelayaran yang diikuti beberapa orang dari beragam komunitas ini, diantaranya Muhammad Ridwan Alimuddin, Ashari sarmedi, Ilham, As’ad Sattari, Urwa, Aldhin, Sastra Ilo Sahabuddin Mahganna, pak Haji Anors dan saya sendiri mencatat dan mendokumentasikan setiap peristiwa dan hal penting yang didapatkan dalam pelayaran. Dari semua fenomena dan data-data yang diperoleh dalam pelayaran ini, akan di rangkum sebagai sebuah gagasan dan dijadikan desain bangun konsep pada Festival Teluk Mandar Part 2 nantinya.
FTM 2 yang rencana akan di gelar kembali di kabupaten Majene, tidak akan di desain hanya sebatas seremoni dan berpentas ria semata. Namun kegiatan ini akan coba diletakkan pada penguatan edukasi budaya bahari, dengan mengusung tema “ Melihat masa lalu dari masa depan” dalam sejarah teluk mandar. Kegiatan FTM 2 yang diprakarsai V-oric Majene, Pensil 2B, Komunitas Bahari Mandar dan Dewan Kebudayaan Mandar (DKM) Sulawesi Barat ini, begitu diharapkan dapat digelar pada bulan Mei 2017 nantinya, agar dapat menjadi embrio untuk membangun pengetahuan dan kebudayaan maritime bagi masyarakat Sulawesi barat.
Dalam menyikapi setiap peristiwa saat ini, pentingnya kita membaca dan bergerak menyelamatkan habitat laut, dengan potret masa lalu, masa kini, untuk sebuah harapan pada masa yang akan datang yang lebih memihak pada penyelamatan ekosistem di garis pesisir Teluk Mandar pada khususnya sebagai warisan untuk generasi selanjutnya. (rr)