Menanam Mandar dalam Urat Nadi: Dari Narasi Menuju Implementasi

oleh
oleh

Oleh: Thamrin Uwai Randang

KEBUDAYAAN dan sejarah seringkali dianggap serupa, padahal keduanya berpijak pada dimensi yang berbeda. Sejarah adalah rekaman peristiwa sebuah upaya sejarawan untuk menyusun puzzle masa lalu secara objektif berdasarkan bukti otentik. Namun, kebudayaan adalah ruh yang menghidupkan sejarah tersebut. Budayawan tidak hanya melihat apa yang terjadi, tapi menangkap “rasa” dan nilai yang tersirat di balik peristiwa.

Perbedaan mendasarnya terletak pada cara menyimpulkan: Sejarah menyimpulkan kebenaran peristiwa, sementara kebudayaan menyimpulkan kebenaran nilai. Seringkali kita berdebat persoalan kepantasan siapa bisa diberi gelar budayawan dan sejarawan meski kadang kita plesetkan menjadi buayawan. Mari kita letakkan kedua sosok ini dalam sebuah perjamuan makna.

Sejarawan: Sang Penjaga Ingatan. Sejarawan adalah pengelana di lorong waktu yang sunyi. Ia berjalan dengan obor kebenaran, membasuh debu-debu yang menutupi nisan masa lalu. Baginya, fakta adalah kitab suci. Ia tidak bicara jika saksi bisu tak ditemukan. Ia teliti menghitung detak jam, memastikan bahwa Raja Todzilaling mangkat di tahun yang tepat, dan Ibu Depu mengangkat senjata di parit yang benar.

Sejarah adalah “apa yang telah terjadi” sebuah potret yang dibingkai oleh kepastian angka dan bukti yang tak boleh berdusta.

Budayawan: Sang Penjaga Ruh Budayawan adalah penyelam di kedalaman rasa. Baginya, nilai adalah napas abadi. Ia tidak hanya terpaku pada kapan sebuah peristiwa terjadi, tapi ia bertanya: “Mengapa getarannya masih terasa sampai ke ulu hati kita hari ini?” Seorang budayawan tidak hanya melihat Baharuddin Lopa sebagai seorang jaksa dalam catatan koran, tapi ia menangkap sari pati kejujuran Lopa sebagai air yang harus membasuh dahaga moral bangsa. Mua’ nawengan doi’ “ eeee anak pealli bensinmu”. Dale’ba’ mupa’alliani laenna, apa’ tania mana’ iya diwattu nawengammu.

Kebudayaan adalah “apa yang masih hidup”sebuah denyut yang tak peduli pada angka tahun, selama maknanya masih mampu menggerakkan jemari kita itulah kebudayaan.
Seringkali, kita terjebak pada romantisme masa lalu. Kita bangga menyebut nama besar Raja Todzilaling/La Puang dengan kepemimpinannya yang legendaris di Balanipa “ mau ana’ appou mua’ masu’ani kedzo-kedzona, nama accu-accur banua dale’ba’ muakke’i. narasi demokrasi pertama di Mandar, keteguhan Ibu Depu eeee Tommuane dale’ba paindong iya toitia anna’ maindongo’o alai kutannu alai mai calanamu, atau dedikasi Hj. Maemunah walau kau bunuh aku sekalipun aku takkan menunjukkan Dimana persembunyian para gerilyawan, kita mengagumi integritas tak tergoyahkan dari sang pendekar hukum Baharuddin Lopa. Namun, jujurkah kita pada diri sendiri? Apakah kita benar-benar mewarisi api perjuangan mereka, atau kita hanya sekadar “numpang hidup” di bawah kebesaran nama mereka demi memuaskan ego “keakuan” kita?

Kebanggaan yang berlebihan tanpa dibarengi tindakan nyata hanya akan melahirkan kesombongan kolektif. Kita merasa hebat karena moyang kita hebat, padahal dalam realitas harian, nilai-nilai mereka belum benar-benar menjadi urat nadi kehidupan kita. Mandar seringkali baru sebatas simbol di atas kertas atau jargon di atas panggung, namun kering dalam implementasi.

Mandar sebelumnya tidak ada, mandar dari narasi manda’ seperti kata bang Rusli Ramli bahwa narasi mandar berasal dari pegunungan Manda’. Mandar bukan sekadar entitas politik Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga. Jika kita tarik jauh ke belakang, sebelum sekat-sekat teritorial itu menguat, ada jejak Nenek Pongka Padang dan Torije’ne. Mereka adalah peletak dasar titah kemanusiaan yang menyebar di seantero tanah Sulawesi, apakah kita tidak satu nenek? kata ini yang buat saya dipeluk saudara mamasa saya Alex Palulungan betul pak thamrin kita saudara.

Pesan mereka sederhana namun mendalam: kebudayaan adalah tentang bagaimana manusia memanusiakan manusia lainnya. Jika kita hanya sibuk berdebat tentang silsilah tapi abai pada kemanusiaan, maka kita telah kehilangan sari pati Mandar yang sesungguhnya.

Tantangan terbesar generasi muda saat ini adalah menghindari sikap latah budaya. Menggunakan atribut budaya atau berorasi tentang kearifan lokal memang perlu, tetapi itu barulah kulit.

  • Masuk ke Sari Pati: Budaya harus dipahami sebagai perilaku, bukan sekadar kostum.
  • Kualitas Implementasi: Berhenti memuja narasi jika praktik hidup kita justru bertolak belakang dengan nilai Mandar (kejujuran, keberanian, dan rasa malu/siri’).

Sudah saatnya kita melakukan muhasabah diri. Kebudayaan tidak akan maju jika dikelola dengan ego sektoral atau klaim kehebatan individu. Memajukan Mandar butuh kolaborasi lintas generasi dan lini.

Mandar harus hadir bukan karena adanya tanda tangan di atas regulasi atau kebijakan formal semata. Mandar harus berdenyut dalam setiap tarikan napas dan langkah kaki kita. Mandar adalah sebuah laku hidup, bukan sekadar identitas yang dipajang saat ada seremoni.

Kontribusi terhadap kebudayaan tidak harus seragam. Kebudayaan adalah sebuah ekosistem besar di mana setiap disiplin ilmu berperan sebagai organ yang saling menguatkan. Agar Mandar tidak sekadar menjadi “tanda tangan di atas kertas”, setiap bidang harus bergerak dari narasi menuju aksi nyata.

Ketika sastrawan menulis Sastra: Menghidupkan Ruh melalui Kata, Menjadikan panggung sebagai tempat menggugat realitas masyarakat saat ini yang mulai meninggalkan sari pati budayanya, peneliti membuktikan, guru mengajarkan, pemerintah memfasilitasi Kebijakan Berbasis Budaya: Membuat aturan yang melindungi aset budaya dan mendukung ekosistem kreatif, dan masyarakat menjadikan kearifan lokal sebagai filter terhadap budaya luar, maka Mandar akan berpindah dari sekadar tanda tangan di atas kertas menuju denyut nadi yang nyata. Kita tidak lagi “numpang hidup” pada nama besar tokoh, melainkan menjadi penerus yang membuat mereka bangga di alam sana.