Membaca Tradisi Mangngaro, Ritual Kematian dari Mamasa

Oleh: Juniana, Mahasiswa Unasman

Mangngaro merupakan prosesi upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat Mamasa terutama di Kecamatan Nosu, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Mangngaro merupakan tradisi upacara kematian yang masih dilestarikan hingga kini. Mangngaro berasal dari kata ‘mang‘ yang artinya melakukan dan ‘aro‘ yang berarti keluar, yang berarti sedang mengeluarkan.

Dalam tradisi mangngaro, pakaian jenazah tidak diganti. Namun menambahkan balutan tambahan hingga membentuk buntalan menyerupai guling raksasa. Trdisi mangngaro telah  dilakukan sejak dahulu masuknya agama kristen dan agama lain di daerah Mamasa terutama daerah Nosu, dan Mamasa pada umumnya masih menganut agama leluhur (aluk tomatua).

Makna dari  mangngaro merupakan wujud pemenuhan nazar bagi orang yang dikasihi semasa hidupnya dan dinyatakan melalui kegiatan pembaharui pembukusan dan juga sebagai makna kasih dan penghormatan. Karena menurut agama leluhur meskipun orang sudah meninggal dunia sesungguhnya masih bisa berinteraksi dengan keluarga yang di tinggalkannya. Oleh sebab itu mereka juga harus diperlakukan sebagai layaknya orang hidup.

Dalam kegiatan trdisi mangngaro dimana semua rumpunan keluarga berkumpul sehingga kita bisa untuk saling mengenal antara keluarga terutama anak cucu yang tersebar di perantuan.

Sejalan dengan perkembangan msuknya agama Kristen dan agama lain maka kegiatan mangngaro mengalami pergeseran beberapa makna yang terkait dengan keyakinan, misalnya kegiatan memberi sesajen (makanan) kepada arwah yang disebut ma’dulang tidak lagi di lakukan, yakni melakukan ibadah bersama sesuai dengan keyakinan kristen atau agama lain.

Makna mangngaro saat ini lebih pada makna sosial dan bukan lagi makna  religinya Meskipun telah mengalami pergeseran makna namun sesunggunya tradisi mangngaro sangat penting untuk dilestarikan dan tetap mengembangkan nilai-nilai sosial, kebersamaan dan terlebih lagi melestarikan kekayaan budaya kita.

Tradisi mangngaro dilakukan masyarakat Nosu setiap tahun pada bulan Agustus selepas panen padi. Prosesinya dimulai dengan anggota keluarga dan kerabat almarhum berjalan beriringan menuju kuburan, di mana kaum perempuan menggunakan pakaian adat berwarna hitam.

Setibanya di kuburan, jenazah leluhur lalu dikeluarkan dari liang dan diarak ke suatu tempat di mana para kerabat perempuan menunggu. Setelah dikeluarkan dari kuburnya, jenazah-jenazah kemudian dibawa ke Lattang–tempat melakukan proses ritual lainnya- salah satunya adalah mengganti pembungkus jenazah.

Jenazah yang baru di keluarkan dari alang-alang atau lokko, Foto: Detikcom

Setelah jenazah leluhur terkumpul, para keluarga lalu melakukan arak-arakan melintasi pematang sawah menuju tenda atau lattang yang sudah disediakan sebagai tempat persemayaman. Arak-arakan menuju tenda persemayaman atau disebut ma’titting ini memiliki daya tarik tersendiri. Para perempuan yang berpakaian adat berwarna hitam berjalan paling depan sambil membentangkan kain merah diikuti barisan anggota keluarga yang menggotong buntalan-buntalan kain yang berisi jenazah.

Ada hal unik pada saat jenazah diangkat, antusias para pengangkat yang sangat bergembira dan bersemangat mengangkat nenek mereka, padahal beberapa saat sebelumnya teriak tangis juga terdengar begitu jenazah telah diletakkan di tanah pada saat proses penurunan.

Rombongan ini kemudian berjejer berjalan, dengan dipimpin oleh beberapa perempuan (tetua) berjalan menuju lattang sambil membawa kain merah di sampingnya. Sementara itu, mereka yang mengangkat jenazah di belakang tak henti-hentinya terus berteriak semangat dan sesekali loncat bersama jenazah.

Selanjutnya, jenazah para leluhur kemudian disemayamkan di bawah tenda yang sudah disiapkan di area persawahan (ratte) selama satu malam untuk dilakukan proses pembukusan ulang. Pada malam hari sembari membungkus ulang jenazah, kaum laki- laki di luar tenda melakukan ritual ma’badong sementara kaum perempuan di dalam tenda melakukan ritual ma’sailo.

Keeseokan harinya, tradisi mangngaro dilanjutkan dengan menyembelih hewan ternak seperti kerbau dan babi, selanjutnya anggota keluarga mengadakan persembahan terhadap jenazah sebelum diarak kembali ke alang-alang atau lokko (liang tempat menyimpan jenazah).

Tradisi mangngaro ini hanya dilakukan oleh golongan bangsawan dengan tingkat ekonomi yang baik sebab tradisi ini membutuhkan pengorbanan yang lumayan besar karena harus menyembelih hewan ternak seperti kerbau. Disamping itu mangngaro hanya dilakukan bagi orang yang melalui tingkat upacara kematian tertinggi (dipandang atau di allun) pada saat baru meninggal.

Mangngaro merupakan bagian dari rangkaian upacara kematian –pa’tomatean- di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat.

Foto Utama: wikimedia.org