Reporter: Sudirman Syarif
MAMUJU, mandarnesia.com — Tak sedikit warga yang enggan atau khawatir mendapatkan imunisasi vaksin terhadap virus corona, termasuk beberapa yang berisiko tinggi terinfeksi sekali pun, seperti tenaga medis yang menyatakan diri menolak untuk divaksin.
Kekhawatiran keamanan tentang vaksin virus corona muncul di kalangan masyarakat, akibat banyaknya infomasi yang belum jelas dan sosoialisasi vaksin Sinovac yang belum dilakukan Satgas Covid-19 Sulbar.
“Saya takut, tidak mau. Saya baca di berita seorang meninggal setelah disuntik vaksin,” kata salah seorang tenaga medis yang tergabung dalam Satgas Covid-19 Sulbar, di salah satu rumah dan menolak disebut namanya.
Pendang tersebut mengacu pada pemberitaan yang menyebutkan banyak warga Korea Selatan yang meninggal setelah divaksin bertambah. Meski otoritas setempat mengatakan tidak ada hubungan antara kematian dengan vaksinasi, “Tapi ada kekhawatiran bahwa kasus tersebut dapat menyebabkan kepanikan di saat-saat kritis dalam upaya vaksinasi,” kata pemerintah setempat dikutip dari kantor berita CNN Indonesia.
Meski upaya Pemerintah Provinsi Sulbar untuk menjaga dan mengatasi keselamatan warganya, mendorong kampanye penggunaan yang luas untuk vaksin, mesti segara dilakukan sebelum vaksinasi dilakukan bulan ini.
Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Sulawesi Barat Dr. Muzakkir menilai, pemerintah harus menjamin bahwa penggunaan vaksin menjamin keselamatan warga.
“Jadi memang wajar kalau masyarakat enggan bahkan takut, bahkan tidak mau. Kenapa karena ini kan ada beberapa jenis vaksin. Kemudian belum ada juga keluar dari MUI mengenai kehalalannya. Juga BPOM,” katanya kepada mandarnesia.com, Selasa (5/1/2021).
Apalagi dari beberapa, termasuk baik di luar negeri, maupun dalam negeri, menyatakan bahwa penggunaan vaksin tidak serta merta akan menyelesaikan persoalan. Kata dia, “Kenapa? Itu kan bukan obat, jadi jika cocok dengan apa yang terjadi di dalam tubuh, apalagi sekarang ada mutasi, bisa saja memang tidak cocok, atau tidak sesuai. Itu yang jadi masalah, ini wajar kalau memang masyarakat itu merasa eggan dan takut sama sekali.”
“Apalagi karena memang di luar negeri kan juga banyak yang tidak menggunakan Sinovac, ada juga yang menggunakan. Banyak sekarang jenis vaksin yang beredar dari Cina, Rusia, Jerman dan Italia. Sehingga itu harus dijelaskan pemerintah kepada masyarakat, jenis apa yang digunakan dan cocok untuk siapa. Vaksinnya kan belum jelas, yang bisa divaksin ada yang tidak,” jelasnya.
Terutama katanya, yang penyintas, tidak bisa divaksin lagi. Menurutnya Pemerintah harus menjelaskan sedetail mungkin, transparan mungkin, juga harus ada contoh yang dilakukan oleh pemerintah, agar misalnya mulai dari Presiden dari Menteri, setelah itu tidak ada masalah yang muncul, baru mendapatkan kepercayaan.
“Jadi yang pertama, contoh dan harus ada dari pemerintah juga, Pemprov hanya perpanjangan tangan deri pemerintah pusat sebagai pelaksana kebijakan.
Cuman memang salah satu cara yang bisa mematikan kuman itu adalah dengan penggunaan vaksin,” ungkapnya.
Ya kalau dari akademisi itu Sinovac bukan satu-satunya. Selain itu, informasi harus satu, siapa yang diberi kewenangan. Karena selama ini dari Kementerian, Satgas, Dinas informasinya berbeda.
Di sisi lain, sementara banyak orang menginginkan injeksi sesegera mungkin. Rekap data Satgas Covid-19 Sulbar bersumber data New All Record (NAR) per Januari, data pasien positif, meninggal dan sembuh terus meningkat.
Sejak terkonfimasi ditemukan di Sulbar jumlah pasien positif mencapai 2.010, sembuh 1.571, dan meninggal 38 orang. Sementara yang lain khawatir tentang menempatkan sesuatu yang tidak diketahui ke dalam tubuh mereka.
Senada dengan Dr. Muzakkir, pemerhati sosial Awaluddin menilai, update soal vaksinasi Sinovac ini harus tersosialisasi dengan baik, kepada masyarakat oleh otoritas yang berwenang. Masyarakat umum atau bahkan Dinas Kesehatan terkait, termasuk Tim Satgas Covid-19 harus memberikan penjelasan rinci dan detail dalam konteks apa vaksin ini, menjadi urgen dilakukan.
Mengingat di banyak tempat juga vaksin ini banyak menuai masalah. Baik dari sisi keamanannya, kehalalan kandungannya, termasuk efek sampingnya dari sisi medis jika timbul suatu saat terhadap orang yang divaksin.
Kedua, yang divaksin itu siapa-siapa saja, karena berkembang informasi bahwa tidak semua orang harus divaksin, tentu berdasarkan tingkat kondisi kesehatan bawaan yang bersangkutan yang harus divaksin, berapa usia, penyakit bawaan, apa yang tidak boleh, dan boleh divaksin yang mungkin akan berimplikasi resistensi terhadap vaksin dan beresiko.
“Ini semua harus bisa dijelaskan dengan baik oleh otoritas yang menangani vaksin ini,” kata aktivitas bersuara lantang itu.
Jika tahapan pemberian vaksin ini juga harus jelas, jangan sampai menjadi lahan bisnis baru oleh pihak-pihak tertentu. Bagaimana dengan tingkat kehalalan vaksin, apa peran MUI sebagai kiblat pemberi label halal dalam hal ini. Dan bagaimana meyakini bahwa urusan tersebut sudah selesai.
Jika terjadi konsekuensi medis dari pemberian vaksin tersebut terhadap masyarakat dan menimbulkan kegaduhan baru yang berimplikasi serius terhadap nyawa seseorang. Siapa yang bertanggung jawab.
“Saya kira harus menghargai hak-hak warga jika sekiranya ada yang menolak untuk divaksin. Dan tidak boleh terjadi pemaksaan atau pelibatan aparat secara refresif yang bisa menimbulkan kegaduhan baru yang berpotensi timbulnya kondisi keamanan yang tidak kondusif, akibat perlawanan dari warga,” jelasnya.
Tentu pihak otoritas harus membuka diri secara transparan untuk divaksin secara terbuka dan tanpa rekayasa di hadapan publik dan terpublikasi. Misalnya Gubernur, Bupati, Kepala Dinas Kesehatan dan semua pejabat publik. Sebagai contoh sebelum melakukan vaksin ke masyarakat.
Sumber foto: covid19.go.id