Reporter: Sudirman Syarif
Seketika saya terbangun, dan meraih tangan anak saya yang berjalan linglunguntuk lari keluar rumah. Istri dan kedua anak saya telah lebih dulu menjauh dari bangunan rumah kami.
Gempa yang terjadi sekitar pukul tiga sore itu, memicu kekhawatiran, dari balik pitu saya menyaksikan mobil rombongan PMI tiba-tiba berhenti di tengah jalan. Satu per satu mereka berlari menuju sawah di belakang rumah. “Gempa, gempa.” Seketika itu, warga memenuhi jalan depan rumah.
Tak lama berselang gempa susulan terjadi dengan skala yang hampir sama. Sejak gempa ke dua, tetangga mengemasi barang, termasuk saya, dan menuju sebuah perbukitan.
Kami disusul ratusan warga, hingga berdiri beberapa tenda yang dibungun seadanya. Pasca gempa, jaringan telekomunikasi terputus, termasuk aliran listrik yang padam. Di pengunsian seadanya, kami mencoba mencari informasi, dan berusaha menghubungi keluarga.
Mereka yang terpisah oleh keluarga, saling mencari, disusul dengan tagisan dari ibu dan anak yang saling mencari. Di balik tenda lain, saya mendegar cerita kesedihan warga, rumah yang baru ia bangun, hancur akibat gempa 5,9 skala richter.
Kami pun memutuskan untuk kembali ke rumah setelah membaca pres rilis dari BMKG Majene, bahwa gempa tidak berpotensi tsunami. Saya mencoba mengajak tetangga yang numpang di tenda kami, untuk kembali ke rumah.
Hingga sore menjelang, sebagian warga memilih kembali, namun tak sedikit juga bertahan, membangun tenda dan menyediakan penerangan seadanya. Mereka akan kembali ke rumah esok pagi.
Dampak gempa, tak sedikit rumah yang rusak. Meski masih dalam pendataan, puluhan bangunan telah dilaporkan rusak. Namun belum ada laporan korban jiwa.