‘Kutu loncat’ Mengemuka di Musim Kontestasi Politik

Oleh: Makmun Mustafa (Pemerhati Sosial Politik)

TIDAK terasa waktu demikian berjalan cepat. Saat ini telah dua dasawarsa era reformasi berjalan. Sejak Presiden Soeharto dan rezim orde baru dijatuhkan pada 1998, banyak perubahan terjadi di Indonesia, terutama dalam ranah politik.

Sejalan dengan reformasi di bawa kepemimpinan Presiden Bj. Habibie, lahir beberapa Undang-undang. Di antaranya UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu, serta UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan Kedudukan DPR/MPR, bermodalkan tiga UU yang disebutkan Pemiliu demokratis sejak berakhirnya orde baru pun dilaksanakan pada tahun 1999.

Saat itulah para tokoh politik berlomba-lomba mendirikan partai dan menguji ketokohan dan peruntungannya pada pemilu. Namun tidak sedikit partai politik yang lahir di masa reformasi dan setelahnya rontok dan gonta-ganti nama partai serta pengurusnya.

Pemilu 1999 berbondong-bondonglah partai politik ikut berkontestasi, ada 48 partai politik. Namun KPU waktu itu masih diisi oleh perwakilan partai politik peserta pemilu dan juga perwakilan unsur pemerintah. Dari 48 partai politik yang bertarung saat itu, hanya 21 partai politik yang berhasil mendapatkan kursi di DPR.

Kemudian selanjutnya pada Pemilu 2004 diikuti oleh 24 partai partai. Pada pesta demokrasi 2004 untuk pertama kalinya pula, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung. Pemilu 2004 memberlakukan sistem electoral threshold sebesar tiga persen perolehan suara Pemilu 1999.

Dari sinilah dimulai politisi pindah partai bermunculan. Ketika merasa tidak sejalan ataukah merasa tidak nyaman lagi berada di partai politik yang sebelumnya, maka akan mencari naungan baru yang bisa mengakomodasi kepentingan politiknya.

Fenomena politikus pindah partai atau ‘kutu loncat’ biasanya mengemuka ketika musim kontestasi politik. Fenomena pindah partai ini bukan saja hanya demi kepentingan kontestasi perebutan kursi parlemen, namun perpindahan dalam rangka penguasaan kepemimpinan partai politik terutama di daerah, sebutlah semisal di kabupaten dan provinsi.

Sebagian dari politisi pindah partai itu bernasib baik, namun ada pula yang bernasib kurang beruntung. Politisi yang bernasib baik boleh jadi karena secara pribadi sang politisi memiliki pengaruh yang cukup kuat.

Dalam konteks perebutan kursi di parlemen keberuntungan itu ditandai dengan terpilihnya sang politisi itu, sementara dalam konteks kepemimpinan partai politik, mampu mengantarkan partai politiknya untuk menjadi pemenang. Yang kemudian bisa diharapkan menjadi modal politik dalam proses kontestasi semisal pilkada atau pilgub.

Di hampir semua daerah politisi pindah partai menjadi sebuah fenomena yang merata terjadi, bahkan di Sulawesi Barat misalkan, fenomena pindah partai pun terjadi secara masif. Pindah dari partai besar seperti Golkar ke Partai NasDem, dari Demokrat ke Partai NasDem, boleh jadi ada pula yang pindah partai hanya karena secara emosional atau sekedar mencari perlindungan hukum (tersandera secara politik).

Boleh jadi femomena gonta-ganti partai ini tidak akan berhenti hingga beberapa pemilu ke depan. Apalagi jika aturan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold (PT) pun mengalami perubahan.