Pesta Pernikahan Demokrasi di Indonesia di Ambang Kehancuran

Menurut beberapa indikator utama, masa jabatan Presiden Indonesia Joko Widodo ditandai dengan kemunduran demokrasi. INFO NHD, Flickr (Indonesian President Joko Widodo's time in office has been marked by backsliding democracy, according to some key indicators. NHD-INFO, Flickr)

Judul Asli: Indonesia’s Wedding-Party Democracy is a Marriage on The Rocks

Oleh: Abdul Gaffar Karim, Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta

PEMILU masih menjadi sebuah perayaan di Indonesia. Namun tanpa memperketat proses partai yang ada mungkin hanya akan menjadi sebuah kedok demokrasi.

Masyarakat Indonesia berpegang pada keyakinan bahwa pemilu adalah pesta demokrasi – sebuah perayaan demokrasi – yang sudah ada sejak rezim militer, sebelum reformasi politik tahun 1998.

Ya, sebuah perayaan memang mengasyikkan, tapi di situlah energinya berakhir. Anda mungkin diundang ke pesta pernikahan, tapi itu pernikahan mereka, bukan pernikahan Anda. Akan ada makanan, minuman, dan tawa. Tapi tetap saja, ini bukan pernikahanmu.

Banyak masyarakat Indonesia yang memandang pemilu sebagai momen yang membahagiakan, terutama karena konsep pesta demokrasi. Mereka akan berpartisipasi dalam perayaan sebagai pemilih, namun hasilnya bukan milik mereka. Bagi sebagian besar dari mereka, pemilihan umum tidak memiliki arti penting dan mendasar dalam jangka panjang. Berbeda dengan partai-partai yang bersaing, mereka tidak perlu mempertahankan kendali rakyat ketika perayaan selesai.

Dalam konteks ini, politik uang dalam pemilu di Indonesia sangat masuk akal: uang tunai adalah bagian dari pemilu. Banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan pemilu untuk mendapatkan keuntungan jangka pendek dibandingkan berinvestasi pada kepercayaan jangka panjang dan harapan akan masa depan yang lebih baik. Beberapa politisi dan pemilih mempunyai lelucon tentang bagaimana pemilu di Indonesia berjalan seperti kartu SIM prabayar – Anda harus membayar di muka.

Situasi ini diperburuk oleh sejarah panjang dan bukti yang terus-menerus bahwa badan penyelenggara pemilu di Indonesia tidak selalu netral. Belakangan ini, tampaknya isu keberpihakan ini semakin memburuk. Pada paruh kedua tahun 2023, sejumlah kelompok masyarakat sipil mengkritik Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari dua sisi: keterwakilan perempuan dan pencalonan terpidana korupsi.

Peraturan KPU menunjukkan kurangnya komitmen lembaga tersebut untuk menegakkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen. Sementara peraturan lain mengizinkan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai legislatif dalam waktu lima tahun setelah mereka dibebaskan dari penjara.

Menurut sejumlah akademisi, jurnalis, dan aktivis masyarakat sipil, kedua peraturan tersebut merupakan bukti bahwa KPU lebih berpihak pada kepentingan partai politik dan kandidat dibandingkan dengan kepentingan pemilih. Untuk membatalkan peraturan tersebut, koalisi akademisi dan aktivis meminta peninjauan kembali ke Mahkamah Agung Indonesia dan mengajukan pengaduan ke lembaga pemilu. Itu tidak berhasil.

Sebaliknya, KPU terus mengambil keputusan yang cenderung menguntungkan partai politik sehingga memicu sejumlah kritik. Pada bulan Desember 2023, kelompok masyarakat sipil mengkritik format debat calon presiden tahun 2024 di Indonesia, yang tidak akan membahas debat calon wakil presiden, meskipun hal tersebut pernah dilakukan di masa lalu. Pada tahun 2024, seluruh sesi debat akan dihadiri oleh kedua pasangan calon.

Kritikus menuduh KPU melakukan perubahan tersebut secara khusus untuk menguntungkan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, seorang politisi junior dan putra Presiden Joko Widodo.
Pertanyaannya mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Struktur kepengurusan lembaga pembantu negara di Indonesia, yang menempatkan mereka lebih dekat dengan negara dan jauh dari masyarakat sipil, mungkin dapat memberikan penjelasan mengenai hal ini.

Di Indonesia, kelompok masyarakat sipil tidak mempunyai pengaruh terhadap lembaga-lembaga pendukung negara seperti di tempat lain. Sebaliknya, para pemimpin lembaga memandang masyarakat sipil sebagai sumber rekrutmen dan talenta – bukan kompas untuk panduan moral.

Kekuasaan politik memainkan peran yang sangat penting dalam rekrutmen, melebihi pengaruh komponen masyarakat sipil mana pun. Terjadi persaingan politik yang ketat dalam proses seleksi calon komisioner badan penyelenggara pemilu.
Ketika terpilih, para pemimpin mendapat dukungan keuangan, fasilitas dan layanan yang sama dengan pejabat negara, bahkan melebihi pejabat Eselon 1 pemerintahan.

Hal ini membuat sangat sulit untuk memastikan bahwa orang-orang yang berada pada posisi ini akan menjadi penyalur keprihatinan masyarakat sipil di negara tersebut.

Menjadi pejabat negara seringkali memberikan kesan nyaman. Bahkan seluk-beluk militerisme semakin banyak ditemukan di lembaga-lembaga pemilu, khususnya komisi pemilu: sekretaris jenderalnya terkenal karena obsesinya terhadap segala hal yang berhubungan dengan militer.

Di Indonesia, badan penyelenggara pemilu tidak termotivasi untuk mendukung tuntutan masyarakat sipil. Kemampuan mereka untuk melindungi kepentingan para penyelenggara pemilu dan negara serta membujuk mereka agar memperhatikan tekanan dari ranah ini adalah hal yang paling penting dalam menentukan seberapa baik kinerja mereka secara politik.

Tanpa perbaikan, khususnya dalam rekrutmen dan manajemen lembaga negara dan pemilu di Indonesia, kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi mungkin akan terancam. Reformasi yang berarti bisa membawa manfaat besar, namun apakah orang-orang yang memegang kekuasaan politik bersedia melakukan hal tersebut adalah pertanyaan yang berbeda.

(Abdul Gaffar Karim adalah Kepala Departemen Politik dan Pemerintahan, dan koordinator Pojok Pemilu, Universitas Gadjah Mada, Indonesia. Dapat dihubungi di agkarim@ugm.ac.id.

*Artikel ini telah diperbarui untuk laporan khusus Pemilu Indonesia 2024. Ini pertama kali muncul pada 14 Desember 2023.
Awalnya diterbitkan di bawah Creative Commons oleh 360info™.