MAMUJU, Mandarnesia.com — 76 persen dari 648 desa di Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) masih dalam kategori tertinggal. Jika dibandingkan dengan tahun 2017 persentase desa tertinggal berada pada angka 80 persen.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa Jaun mengatakan, penurunan desa tertinggal tidak sebanding dengan anggaran yang dikelola oleh desa.
“Tahun lalu itu sudah 80 persen, tak seberapa jika dibandingkan dengan dana desa Rp480 miliar. Seharusnya, sudah tuntas di tahun kelima. Tetapi, kita tidak tahu pola kewenangan provinsi terbatas pembinaan dan pengawasan. Jadi, kabupaten yang langsung bersinggungan dengan desa,” kata Jaun kepada mandarnesia.com di Pelataran Kantor Bappeda Sulbar, Senin (28/1/2019).
Jaun menyampaikan, produk hukum yang muncul di kabupaten masih miskin Pergub tentang penggunaan dana desa. Menurutnya harus dipacu, tidak bisa tidak. Karena anggaran besar di tengah sumber daya manusia yang terbatas, bagaimana perencanaan bisa berkualitas.
“Meskipun ada pendamping desa, tapi kompetensi masih perlu diuji kembali. Karena bukan kami yang mengangkat tapi Mendes. Tidak tahu lah nanti cari sendiri informasinya seperti apa,” jelas Jaun.
Tahun 2019 Bantuan Keuangan Khusus (BKK) diluncurkan gubernur ke desa nilainya Rp21.000.500 miliar dibagi ke 70 desa. Masing-masing mendapat Rp300 juta perdesa.
“Ini tahap penyempurnaan, kita butuh masukan dari semua untuk mengawal betul ini. Jangan sampai ada lagi salah arah dan ini kontrolnya tetap masuk karena langsung masuk ke rekening kas daerah. Kemudian langsung ke rekening desa, maka harus dipertanggungjawabkan. Maka proses identifikasi, verifikasinya ketika dia melenceng dari indeks terendah intervensinya, kita dorong karena ini jenis kewenangan yang ditugaskan,” jelasnya.
Terkait penganggaran dana desa yang dinilai masih sangat dominan di sektor pembangunan infrastruktur desa, Wakil Rektor II Unsulbar, Anwar Sulili menilai, tidak perlu lagi dilakukan secara terus menerus.
“Anggaran untuk membiayai pembangunan infrastrukur pemerintahan desa sangat besar. Sedangkan, kegiatan untuk pemberdayaan ekonomi, pemberdayaan masyarakat masih rendah di bawah 10 persen,” kata Anwar dalam diskusi tersebut.
Justru intervensi dana desa sejak 2015 sampai sekarang belum bisa merubah dan mengangkat kategori dari desa yang sangat tertinggal menjadi tertinggal dan berkembang.
“Sangat kecil. Oleh karena itu, sebetulnya kalau program merasa ini dikasih ke desa lagi, harusnya sudah mulai mengantisipasi. Jangan lagi lari ke infrastruktur. Tapi ke pengembangan ekonomi termasuk dana desa yang ada sekarang ini. Kalau bisa digiring ke pemberdayaan masyarakat,” tutupnya.
Sekprov Sulbar Muhammad Idris DP melihat, banyak penyalahgunaan dana desa yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
“Di daerah saya ada kepala desa yang sudah beli rumah di kota dan beli mobil. Saya yakin itu berkat dana desa,” kata Idris.
“Saya juga merasa agar lambat juga teman-teman di kabupaten kalau aspek kebijakan pengelolaan dana desa, saya lihat belum selesai. Karena dana desa ini sudah 4 tahun berjalan. Kalau misalnya efektif 2 tahun paling tidak tahun ini sudah selesai indikator-indikatornya,” sambung Idris.
Sehingga ia mengimbau, supaya tidak lewat dari bulan ketiga. Menyelesaikan masing-masing indikator pengelolaan dana desa sudah standar nasional. Bahwa ada variasi antara satu daerah dengan daerah yang lain tidak terlalu banyak.
“Jadi jangan diperlambat hal-hal yang sudah dipercepat. Ini terlambat kalau begini modelnya Sulbar akan tertinggal,” tutup Idris DP yang baru dua bulan lebih jabat Sekrov Sulbar.
Reporter: Sudirman Syarif