Oleh: Hasriani Hanafi
AKU buta pada sajak-sajak alam di langit Deking, Kecamatan Malunda, Majene. Bahkan mati rasa, sehingga tak mampu membaca akan adanya bencana yang membuat rumah sederhanaku remuk. Ini akan menjadi saksi lindu pada 14-15 Januari 2021.
Sebelum gempa, sinar matahari tidak menyayat. Walau, posisinya berada tepat di atas kepala. Mungkin hari akan hujan. Pikirku yang tak ingin tahu keadaan alam saat itu. Hari Kamis, hampir menjadi kenangan terakhir untukku. Aku beraktivitas seperti biasa. Usai mengajar, jemariku akan meluncur pada catatan bisnis yang baru saja kami tekuni.
Durasi waktu fardhu telah terseret. Bayang tubuh pun telah lengser, menjauh dari bawah kaki. Inilah menjadi salah satu penyakit manusiaku. Membiarkan diri hanyut dalam bisnis yang mengikis iman. Bukanlah pekerjaan itu yang salah.
Namun, sebenarnya kekuatan hati tak mampu berpijak pada kebenaran yang hakiki. Tak terpikir, bahwa detik pun tak mampu kita lirik. Apa yang akan terjadi. Mampukah kita menahan air hujan yang membasahi bumi, atau dapatkah kita hentikan longsor yang berada di tepi jalan, bahkan bisakah kita menahan getaran lindu yang meluluh lantahkan perkampungan?
Sajadah merah, yang selalu kutambatkan masih mendekap. Air wudhu telah menyatu dalam sujud. Mencair dalam tasbih, tahmid dan takbir. Dan, berembuk jauh dalam aliran do’a. Semua begitu cepat. Tak ada tanda terlebih berita. Gemuruh yang menghilangkan segala ketenangan dan kedamaian menjemput dalam akhir lipatan sajadah.
Aku berdiri tepat di depan jendela, sembari menunggu balasan kabar dari teman kerja yang akan berkunjung ke rumah. Sambil mengemas segala perangkat sholat yang telah ditunaikan.
Seketika buyar. Jeritan segala penjuru mengepung. Menjadikan seluruh sudut menyundut pilu. Inilah duka massal yang nampak di mataku. Pingsan, teriak, menangis, menjerit, dan saling mendekap untuk menyelamatkan dan menenangkan.
Berlari mencari anak yang bermain entah kemana. Memapah orang tua yang tak mampu lari dari guncangan dahsyat. Aku hanya diam meratap penuh lara. Anak dan suamiku sedang bertandang ke rumah saudara. Kami terpisah. Bukan lagi ketakutan yang menyelimuti pikiranku. Tapi, kekhawatiran yang teramat penuh menyelami segala sendi sukmaku.
Melihat tanah retak dan menyaksikan runtuhnya tembok-tembok rumah menambah derita tanyaku.
“Bagaimanakah mereka di sana?”
Lampu seketika padam, dan signal pun sudah tak bersahabat.
Komunikasi terputus, kumencari tempat yang lebih aman tanpa bangunan. Aku duduk diam. Melihat mereka berkemas untuk mencari daratan yang lebih tinggi.
Mencoba masuk ke rumah untuk mengambil file penting yang juga harus kubawa. Namun, tak ada hasil. Tumpukan barang, dan segala perabotan yang tersusun dalam rak papan kamarku, menutup jalan. Tak ada keberanian untuk mencari lebih jauh.
Sempat kulayangkan pandangan pada posisi terakhirku dalam detik-detik pusaran lindu. Di depan jendela tepat aku berdiri, sudah dipenuhi reruntuhan bata.
Selangkah dari depan rumah, gempa susulan kembali. Suara tanah seakan berdentum. Kepanikan warga tak terelakkan. Aku tak bisa apa-apa. Yang aku tahu, menunggu kedatangan suami dan anakku menjadi prioritas utama.
Menghelah nafas panjang. Mencari rasa yang sejenak hilang oleh kerusuhan batin. Sekejap mata, harta benda sudah tiada. Membalikkan tawa menerawang, menjadi tangis mengais. “Tuhan, apa yang kami harapkan di dunia, selain hanya amal yang akan kami bawa pada-Mu,” bisikku.
Jauh terlihat, mereka datang. Rasa syukur, ku panjatkan begitu dalam. Dialah sosok lelaki yang selama ini mendapingiku. Teramat baik dan sabar. Raut tenang terpancar. Begitulah dia, menjadi pengobat saat ku gelisah. Menjadi peredam saat, resah.
“Sabarki sayang, cobaan ini!” Kalimat yang menjadi pembuka pertemuan kami. Air mataku jatuh, tersentuh. Inilah imam yang kuimpikan. Mengurangi segala kepedihan. Kata itu sederhana. Namun, kesabaran dan ketabahan yang membuatku luluh dan melepuh pada cintanya.
Maryam, nama anak semata wayang kami yang baru berumur 3 tahun. Wajah polosnya hanya menatap. Aku paham, ia mengerti kerisauanku. Tangan mungilnya, langsung mendarat di pipiku. Inilah bentuk cintanya padaku. Ia mengusap wajahku berulang kali. “Janganki sedih mama,” tuturnya.
Tak ada air mata. Namun, ia mampu menyelinap dalam raga kesedihan dan kebingunganku. Ikatan batin begitu kuat. “Semoga, Tuhan memberikan keselamatan dan perlindungan-Nya kepada kami,” do’aku bisu. (BERSAMBUNG)
Deking, 3 Maret 2021
====
Hasriani, lahir di Lampa 26 Juni 1989. Anak ketiga dari Hanafi dan Marwah. Wanita yang berprofesi guru dalam status honorer di SMA 1 Malunda berasal dari Mapillie Desa Bonra kec. Mapilli Kabupaten Polman. Namun, sudah lama merantau ke Tapalang -Malunda.
Tahun 2009-2011 tinggal dikediaman Ramli Habidul dan Hj. Mudiah sebagai orang tua asuh di Pasa’bu Tapalang Barat. Dan, Tahun 2012 hijrah ke Malunda dengan alasan menyelesaikan studi S1 di kampus 2 Universitas Al-Asyariah Mandar. Kemudian, memilih menetap di Malunda setelah menemukan tambatan hatinya Busriadi, yang kini dikaruniai seorang anak bernama lengkap Maryam Busriadi.
Selain bekerja sebagai honorer, seorang penyintas gempa di Malunda yang berkekuatan 6,2 Magnitudo ini juga menjadi salah satu pendiri Sanggar Ta Sende di Malunda yang bergerak dalam bidang seni tari. Dan, saat ini tengah menekuni dunia sastra.