Penulis : Hasriani Hanafi
Kembali Menata Hidup
Tenda kecil bermerek Rei, menjadi awal untuk meniti aktifitas di halaman rumah. Tenda keempat ini menjadi tumpuan kami selanjutnya. Menuliskan sejarah deking, yang serupa kampung mati saat kami datang. hanya segelintir penduduk yang kami temui, mereka ternyata penyintas yang bertahan menjaga kampung, mereka manusia hebat yang berani berdiri tegap dengan membangun cinta yang kokoh untuk tanah kelahirannya.
Menurut informasi, banyak warga yang mengungsi di luar wilayah. Mulai dari Tammero’do hingga ke Jeneponto. Jejeran daerah pilihan mereka mencari lokasi yang aman menurutnya. Hingga, sholat jama’ah mesjid Nurul Taufik Deking ikut menipis. Buram-buram aku mendengar suara yang sangat asing saat adzan. Mereka rupanya relawan yang mengisi kekosongan hidup kami. Dialah yang pertama kali mengumandangkan adzan dalam bangunan retak dan terbelah karena masjid kebanggaan telah lumat oleh lindu.
Ada yang berbeda saat itu, Muadzin terdengar parau ikut merasakan getaran kuatnya iman. Melinangkan air mata dalam do’a dan rasa syukur. Panggilan Tuhan saat itu membetas raga, seakan berada di penghujung kematian, menghilangkan nafsu akan keindahan dunia. Tangispun tak terbendung, merintihkan besarnya kuasa Tuhan yang sekejap mata merusak bumi dengan kekuatannya.
Hormatku pada relawan, yang menjadikan maut sebagai sahabat demi kepentingan kemanusiaan. Niat yang ia hantarkan pada kami menjadi saksi, bahwa dalam relungnya ada cinta yang besar pada-Nya. Mereka menantang bahaya hanya untuk melihat kami tersenyum. Tak pernah bertemu, bersua terlebih cengkrama. Kini, dibalik musibah yang digariskan, mereka datang menawarkan berbagai bantuan yang teramat kami butuhkan. Tak ada lelah, mereka usir dengan semangat. Mengumpulkan tenaga, lalu kembali menyisir hingga ke tempat yang tak sebagian mampu menembusnya. Aku hanya berpikir, apakah hatinya terbuat dari emas, ataukah intan permata. Yang mereka cari hanya manusia yang tidak dikenalnya. Salut untukmu para relawan. Kalian membuktikan bahwa ada saudara tanpa sedarah. Semoga kesehatan dan keselamatan selalu melimpahi, untukmu dan keluarga. Begitulah do’aku yang kusematkan dalam setiap sujudku.
Persediaan kami di tenda kecil itu sangat terbatas. Meski, kami juga tercatat sebagai penerima sumbangan tapi suamiku tak akan meminta. Aku sangat kenal pribadinya, kendatipun susah ia tidak akan memelas untuk mendapatkan apa yang ia inginkan walau sangat membutuhkan. Sehingga, aku juga tak punya keberanian meminta sembako di pengungsian ketiga kami. Karena menurutnya disana lebih banyak orang yang sangat membutuhkan. Kami menanamkan keyakinan bahwa Tuhan Maha Tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya. Ia mencoba mengelus kepalaku dan berusaha membangkitkan semangat untuk bisa sabar dan tabah menerima takdir dari-Nya. Aku harus lebih kuat dari sebelumnya, karena hidup dalam ujian memerlukan keuletan menuju bahagia yang sesungguhnya.
Anak remaja yang berkulit hitam manis menyempatkan diri ke tenda kami. Ia agaknya sedang membagikan bungkusan beras dan mie instan. Tuhan telah membuktikan kasih sayangnya malam sepekan pasca gempa itu, kami akhirnya memasak dan menikmati rejeki yang diberikan. Semakin deras tangisanku, sungguh kami selalu dalam keberuntungan. Ini mungkin jalan yang telah diberikan untuk membuat hati tetap mendekat dan senantiasa mengingat-Nya, hatiku meraung memohon ampun atas segala dosa dan khilafku.
Bantuan di posko induk jauh melampaui dari apa yang ada di kampung kami. Setiap KK akan mendapat beras kemasan karung dan sembako pelengkap lainnya. Sedang disini, hanya mengharapkan literan beras dan bungkusan mie yang terkadang tidak cukup untuk memenuhi lauk kami dalam sehari. Tapi, suamikulah yang menjadi faktor utama, kehidupan sederhana akan terlihat megah jika dilalui dengan saling mendukung dalam cinta dan kasih.
Ia mulai sibuk di posko baru yang tengah didirikan . Mengurus kebutuhan para penyintas dengan mengorbankan tenaga, waktu bahkan keluarga. Kami saling menitip pesan satu sama lain. Berusaha mengikis ketakutan karena kondisi masih tetap siaga.
“Papa klo ada gempa, jangan miki kesini pergi miki saja juga langsung mengungsi karena adaji bukit di belakang rumah, jangan sampe patah jembatan,” kataku dengan penuh keyakinan.
Walau sebenarnya tak ada keberanian, namun nyawanya menjadi perhitungan. Aku hanya berusaha tegar agar kami semua bisa selamat, meski tak bisa berpikir bagaimana aku tanpanya saat gempa datang.
“Tapi, lari betulki naik di. Janganki terlalu panik. InsyaAllah apa yang kita korbakan bernilai ibadah, karena apa yang kubikin ini karena Allah. Dan Kalau bisaka kesini pasti kesinika.” Begitulah ia meyakinkan dirinya dan diriku akan jalan yang kami tempuh. Sambil memelukku dengan erat, ada rasa berat dalam kehangatan yang melekat, semua karena-Nya.
Kehidupan baru, semangat baru, dan hunian baru merubah cara pandangku. Bahwa manusia semua sama, kekayaan merajuk, kemiskinan merayu. Semua manusia kini tidur dalam tenda yang sama, menyiratkan penghapusan derajat ekonomi. Para donatur mendahulukan warga miskin dan yang kaya ikut menyerobot mengaku miskin. Ekonomi lemah semakin dikuatkan, dan ekonomi menengah mala semakin melemahkan akhlak agar mendapatkan penguatan. Bahkan, seorang gadis merelakan dirinya membanting status menjadi wanita janda demi mendapatkan donasi para penderma. Akal semakin tumpul, demi menumpuk barang kebutuhan yang menjadi tonggokan. Semuanya kami jadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga.
Kami kembali meniti nasib dalam lembaran tenda biru yang melintang. Semoga kami bisa bertahan hidup dalam kesenjangan ekonomi dan sosial ini, tetap menguatkan iman dan taqwa agar yang sulit dapat disuling dalam cinta yang berlandaskan karena Allah. Sehingga, hidup akan lebih tenang meski remang. Dan semoga warga Malunda mulai membukakan hati pada kesalahan dan kebenaran.
Di pasca gempa, bukan hanya tembok rumah yang harus dibenahi atau tiang miring yang akan ditegakkan, tapi pondasi agama juga butuh sentuhan rohani agar selamat dunia akhirat. Walau, sebagian orang menganggap gempa ini hanya sebatas fenomena alam belaka, tapi terpenting bukan perkara siapa dan apa yang salah. Hanya sekedar saling mengingatkan, agar kita semua bisa bertemu di pintu surganya Allah dan bersama-sama melangkah menuju kebahagiaan yang abadi. Amin
Deking, 3 Maret 2021
====
Hasriani, lahir di Lampa 26 Juni 1989. Anak ketiga dari Hanafi dan Marwah. Wanita yang berprofesi guru dalam status honorer di SMA 1 Malunda berasal dari Mapillie Desa Bonra kec. Mapilli Kabupaten Polman. Namun, sudah lama merantau ke Tapalang -Malunda.
Tahun 2009-2011 tinggal dikediaman Ramli Habidul dan Hj. Mudiah sebagai orang tua asuh di Pasa’bu Tapalang Barat. Dan, Tahun 2012 hijrah ke Malunda dengan alasan menyelesaikan studi S1 di kampus 2 Universitas Al-Asyariah Mandar. Kemudian, memilih menetap di Malunda setelah menemukan tambatan hatinya Busriadi, yang kini dikaruniai seorang anak bernama lengkap Maryam Busriadi.
Selain bekerja sebagai honorer, seorang penyintas gempa di Malunda yang berkekuatan 6,2 Magnitudo ini juga menjadi salah satu pendiri Sanggar Ta Sende di Malunda yang bergerak dalam bidang seni tari. Dan, saat ini tengah menekuni dunia sastra.