Kisah Cinta Penyintas Gempa di Malunda, Bagian 3

Penulis : Hasriani Hanafi

Selimut Kain Berkemal

Setelah semuanya siap. Kami, langsung mengevakuasi diri. Semua sibuk, mencari tempat yang dianggap aman. Di dusun Lombong masih kaya dengan bukit yang menjulang tinggi. Hingga, banyak alternatif untuk kami jadikan tempat persinggahan.

Pukul 13.46 Wita gerimis mengguyur Desa Lombong, Malunda. Akses menuju pebukitan terlihat licin. Pakaian yang menjadi satu-satunya pelindung mulai lembab. Tak ada daya, kami meninggalkan rumah dengan hanya berbekal ijazah.

Keadaan semakin pelik. Anakku mulai kedinginan. Ia terlalu belia untuk merasakan kegetiran ini. Menidurkannya mungkin jalan terbaik. Agar, kemasygulan tertancap hilang dalam mimpi. Segera ia dapat melihat sinar kehidupan yang jauh lebih indah.

Atap rumbia ukuran 2 x 2 meter, menampung kurang lebih 20 warga. Tiangnya tersirat rapuh. Tersusun kayu bakar disisi kirinya. Tampaknya, ini bekas kandang sapi. Yang menjadi tempat persinggahan terbaik saat itu. Kendati pun, juga terkadang tercium aroma kotorannya. Tapi, tak mengurangi keindahan nikmat atas tempat yang diberikan Tuhan pada kami.

Karena, masih banyaknya warga yang harus bertahan di bawah pohon. Diterpa hujan yang mengurangi derajat celcius tubuh, pada titik kebekuan. Semua itu sangat patut disyukuri.

Tak lama berselang. Handphone salah satu teman pengungsi kami berdering. Percakapan singkat, membuatnya pucat dan lunglai. Beribu tanya menyemburnya, bak wartawan yang menyerbu koruptor, yang tengah mengupas kasus korupsinya.

“Malunda pusatnya gempa,” kata itu memperluas kegundahan penyintas. Terdengar samar, kebimbangan dengan tangis yang tertahan.

Beberapa warga memberanikan diri, kembali mengambil barang dari rumah. Ia pun sama seperti kami, tak membawa baju ganti. Sedang pakaian sudah berkemal akibat diguyur hujan. Ada pula yang cukup dengan pakaian seadanya, termasuk kami.

Bukan hanya tak berani kembali, melainkan karena pekerjaan yang menuntut suamiku harus mengerjakan tugas di tengah petaka itu. Ia masih saja berjibaku dengan handphone. Mengurus berita yang akan dikirim ke temannya. Hingga, tak ada kesempatan untuk melengkapi keperluan di pengungsian.

Ia pun pamit untuk mencari signal. Karena, tempat kami berada di lereng bukit. Jaringannya timbul tenggelam, dan menyulitkan ia untuk berkomunikasi. Berat untuk membolehkan ia meninggalkan kami di tempat itu. Namun, profesinya mengharuskan hati untuk mengatakan, iya.

Banyak cerita yang sudah terkumpul dalam kemasan gempa siang itu. Ada yang lari lupa dengan anaknya. Luka karena tertimpa reruntuhan. Jatuh berulang kali karena guncangan keras yang tak tertahan. Terpeleset ke parit. Masih banyak lagi.

Malunda dari udara, satu bulan lebih setelah gempa (Drone: Wahyudi)

Banyak yang terlewatkan. Ingatanku hanya pada suami yang tengah bekerja melawan arus kuatnya gelombang kehidupan. Aku yakin, meninggalkan kami di tempat ini bukanlah opsi yang terbaik baginya.

Hari hampir petang. Perasaan bergolak. Sudah terlalu lama. Sedang, aku harus bersama orang yang tak pernah aku lihat sebelumnya. Aku hanya bisa menenangkan diri. Berdoa agar ia selalu dalam lindungan-Nya.

Tanganku mulai keram menimang Maryam yang tertidur pulas. Ia pasti lapar. Kebiasaan minum susu saat bangun dari tidur, akan terlewat. Bagaimanakah ini? Hampir saja air mataku meleleh. Ruang ini sangat sempit. Tak ada tempat untuk membaringkannya. Sepintas ada bangunan tepat di belakang kami. Aku segera ke sana. Paling tidak, ada tempat untuk berbaring.

Hujan mulai rintik. Kuyakinkan diriku untuk ke tempat baru. Tepatnya hanya beberapa meter dari tempat awal. Tampak bangunan itu masih baru. Seperti rumah panggung. Tak berpikir panjang lagi, aku menaiki tangga yang terbuat dari batang kayu itu. Kulit batang masih menempel. Benar-benar teramat baru.

Rumah panggung yang tepatnya kandang ayam potong itu menjadi kandang manusia. Belum terpakai, dan masih dalam tahap pembenahan. Serutan kayu masih berserakan. Bau khas kayu baru menusuk indera penciumanku. Beberapa anak juga tertidur pulas.

Akhirnya, suamiku datang dan mencari kami. Bibirnya terlihat menghitam karena kedinginan. Jas hujan yang ia kenakan berlubang. Aku kasihan melihatnya seperti itu. Tak ada selimut bahkan sarung yang bisa menghangatkannya.

Semakin dirundung sedih. Belum lagi jika anakku terbangun nanti. Tak ada makanan yg sempat kami bawa. Ingin kembali, tapi rumah berada di zona merah dekat dengan pantai. “Kuserahkan semuanya kepadamu. Engkau yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi kami,” do’a seorang ibu juga istri.

Bingkisan putih, yang dibawa anak muda yang rupanya anak dari salah satu kawan pengungsi kami. Ia melenggang bersama beberapa tentengan di tangan. Terkadang terpeleset di antara rerumputan. Ia sangat kerepotan dipenuhi barang di kanan dan kirinya.

“Anaknya pak dusun,” jelasnya. Rupanya suamiku kenal dengan penyintas itu. Diantaranya Kepala Dusun Manaraya yang sedari tadi bersamaku.

Bingkisan itu berisikan makanan yang bisa mengganjal perut. Senyum simpul tanda terima kasih kudendangkan dalam hati. Tuhan Maha segala Penyayang. Mengirim kami ke tempat yang dipenuhi malaikat penolong.

Kebutuhan pokok kami tercukupi. Kami tidur dengan selimut dan sarung pinjaman. Baju basah yang kami kenakan sudah menjadi penghias bahagia. Mereka sangat baik, hingga duka dalam hati sesaat menghilang. Terima kasihku untukmu pak Dusun Mahmud Borahima atau lebih dikenal A’ba Uco’ bersama keluarga  dan juga kak Nur beserta keluarga yang sempat menyuguhkan makanan untuk kami selama di tempat itu.

Kami terjaga hingga larut malam. Terbalut rasa trauma, manjadikan kami sensitif. Hampir semua mengenang kisah gempa yang menimpa. Setiap di penghujung topik, akan ditutup dengan cerita linor yang membawa kami pada titik pertemuan.

Hujan masih saja menderas. Serta,  hembusan angin yang menghias kebekuan. Bahkan, gelap ikut menjadi pelengkap derita di malam itu. Ditambah dengan posisi tidur yang tak beraturan, karena mengehemat tempat untuk setiap keluarga.

Semua mulai hening. Tak ada angin, suara ataupun tangisan. Tampaknya mereka sudah lelah, dan mulai terlelap. Tapi, aku masih sukar untuk memejamkan mata. Jam tidurku telah lewat. Serta membuat mataku mengering dan terjaga.

Lalu, aku teringat suara burung hantu yang melewati tempat pengungsian kami pada jam 10 malam. Yang tadinya, kubiarkan begitu saja melalui kami. Semoga itu pertanda baik. Karena, sebagaian besar mengaggap itu sebagai tanda pembawa berita buruk.

“Muaq pissangi pelloa arraq anu karake tuqu,” ucapan orang tuaku yang setiap kali mendengar suara itu.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara guntur, bunyi itu hanya sekali. Guntur yang tidak dibarengi dengan kilat seperti biasanya. Percikan hujan sekali-kali menimpaku. Berhubung posisi kami tepat berada di pojok bangunan. Yang berpenghuni lima kepala keluarga.

Helaan nafasku terhenti. Gelap menghiasi kekeruan hati. Kami, dalam rundungan malam yang tak berbintang. Menelang pandangan dalam sorot mata gulita. Pepohonan pun tampak terlihat samar.

Pettabeng, salah satu titik terparah di Malunda. (Pilot Drone: Wahyudi)

Hempasan datang memporandakan mimpi indah. Ia tamu tak diundang. Lindu merusak lelap yang beradu dalam kisah bawah sadar. Bangunan bergoyang keras. Menyulitkan kami, untuk bisa melangkah mencapai tangga kayu licin itu.

Kami hanya meraba. Melalui jalan yang kami hapalkan sebelumnya. Sorakan sayu serentak terdengar keras. “Linor”, hingga mengalahkan gemuruh yang terombang ambing karena kedahsyatan guncangan gempa itu.

Mereka terperangkap di atas kandang. Sedang kami, gesit menuju tangga penurunan. Aku yang sedari tadi tak tidur, refleks bergerak untuk menyelamatkan diri bersama keluarga. Dan juga ikut berteriak gempa sembari membangunkan mereka yang pulas.

Aku langsung menarik tangan suamiku, saat ada guncangan kecil.  Ketika kami semua sudah berdiri untuk bergegas, guncangan keras menghantam. Sehingga, kami sangat merasakan level lindu itu seperti terlempar. Mungkin, karena kami berada di kandang yang juga terbuat dari bangunan kayu.

Kayunya saling bergesek. Seakan berdendang. Persis suara “panette” saat merapikan kain sutra dalam susunan kerapian penuh cinta. Akan tetapi, suasananya berbeda 180 persen dari kebahagiaan.

Gempa yang berkekuatan 6,2 magnitudo pada jam 02.30 Wita dini hari  serasa mengamuk. Kantuk menjauh. Semua tersontak, dan berusaha tenang dalam kepanikan. Kami, yang berada di depan tangga siaga untuk berlari jika gempa akan menerjang.

Guncangan hanya berselang beberapa waktu saja, lebih singkat dari durasi gempa awal yang berkekuatan 5,9 magnitudo Sebelumnya. Tapi, di luar dugaan kami, ternyata getaran besar itu menelan nyawa dalam puing-puing bangunan.

Kami berdiri di naungan payung pelangi, yang sengaja ditambatkan saat petang kemarin. Menyatukan do’a dan dzikir. Berharap semoga ini yang terakhir. Tak ada lagi ingatan, selain memanjatkan dan memohon perlindungan dari-Nya.

Beberapa sahutan dari teman kami. Memanggil untuk kembali naik dan berbaring. Terlebih, ketika mereka melihat Maryam tertidur lelap dalam gendongan suamiku. Ember yang bervolume 80 liter yang tersedia di bibir tangga turunan, tidak lagi terisi. Hujan rupanya menipis, hingga tak kunjung mengisi ruang kosong, pada wadah yang kami sediakan untuk kebutuhan wudhu dan lainnya.

Dingin malam menusuk. Terlihat mengusap dada karena ketakutan. Sesekali memutar cerita, pengalaman terhempas lindu yang baru saja terjadi. Ternyata banyak hal lucu, yang terselip dalam ketegangan menggeliat. Sebatas, mencari ruang hiburan di hamparan derita yang mendera.

Menunggu waktu subuh. Ketersediaan air mulai penipis. Rasanya, tak lagi memenuhi segala kebutuhan kami di tempat itu. Penghematan air teramat dijaga. Berwudhu dengan keterbatasan, segara menjadi solusi terbaik. (Bersambung ke Kabar Buruk Setelah Lindu)

Deking, 3 Maret 2021

====

Hasriani, lahir di Lampa 26 Juni 1989. Anak ketiga dari Hanafi dan Marwah. Wanita yang berprofesi guru dalam status  honorer di SMA 1 Malunda  berasal dari Mapillie Desa Bonra kec. Mapilli Kabupaten Polman. Namun, sudah lama merantau ke Tapalang -Malunda.

Tahun 2009-2011 tinggal dikediaman Ramli Habidul dan Hj. Mudiah sebagai orang tua asuh di Pasa’bu Tapalang Barat. Dan, Tahun 2012 hijrah ke Malunda dengan alasan menyelesaikan studi S1 di kampus 2 Universitas Al-Asyariah Mandar. Kemudian, memilih menetap di Malunda setelah menemukan tambatan hatinya Busriadi, yang kini dikaruniai seorang anak bernama lengkap Maryam Busriadi.

Selain bekerja sebagai honorer, seorang penyintas gempa di Malunda yang berkekuatan 6,2 Magnitudo ini juga menjadi salah satu pendiri Sanggar Ta Sende di Malunda yang bergerak dalam bidang seni tari. Dan, saat ini tengah menekuni dunia sastra.