Oleh: Rahmat Muchtar
Kekasih, engkaulah matahari yang tak pernah terbenam. Engkaulah yang mengajari pelita bercahaya. Kata-kata indah berbobot itu dapat kita baca dan dengar dalam buku/film Romeo and Juliet karya Shakespeare. Ahmad Wahib lewat catatan hariannya (pergolakan pemikiran), merespon karya Shakespeare tersebut: Bahwa Tuhan menganugerahkan cinta antara dua remaja, dan seniman menggali lebih dalam anugerah cinta itu. Ya, seniman selalu berbicara pada keadaan yang paling hakiki. Karena itu seorang manusia seniman adalah orang yang potensial untuk menekuni relung spiritual berjumpa dengan Tuhan.
Bila kita banyak bergaul bersama teman-teman seniman, aktivis politik, ustaz, pengusaha dan profesi lainnya. Pergulatan hidup dari beragam profesi begitu terasa, dan ketika seorang politikus uraikan gagasannya melalui mimbar-mimbar politik, seorang ustaz sajikan ceramahnya, maka seorang pekarya dalam ranah seni mengungkapkan segala perasaannya lewat karya seni. Baik berupa karya sastra, pertunjukan musik, teater, tari dan pameran seni rupa. Karya-karya seni dengan segala macam warna perhelatannya, selain sebagai peristiwa kebudayaan yang istimewa bagi seniman, juga menjadi arena pergaulan sosial yang dapat menyegarkan atau keramasi kepenatan masyarakat, para aktivis politik, ekonomi dan lain-lain.
Alhasil pertemuan dengan dunia seni melalui apresiasi akan pecahkan ruang monoton dalam profesi yang sejatinya saling berhubungan dan membutuhkan. Profesi yang bergelut dalam bidang di luar seni akan terasa lentur, tercerahkan, mendapat keseimbangan atau minimal terinspirasi untuk kembali memenuhi panggilan hidup sebagai ibadah sosial. Bertandang ke kantong-kantong kesenian, ruang budaya, galeri pameran dengan berdikusi dan mengapresiasi karya para seniman baik saat melancong rekreasi di pusat kota-kota besar Indonesia maupun di daerah kita sendiri, tentu akan terjalin dialektika rasa dan pengetahuan manusia yang dapat diserap melalui karya seniman.
Kembali pada catatan harian Ahmad Wahib, dimana terasa sangat kental mengajak para pejabat pemerintah, pelaku bisnis dan lainnya untuk turut menghela muatan-muatan seni ke dalam jiwanya, segenap pola kerja dan kebijakannya. Mengapresiasi karya seni akan membangkitkan jiwa pada sungai kreatif, semangat mencipta, menyegarkan idealisme yang sudah atau yang pernah ada. Persahabatan pada dunia seni akan merangsang perenungan mendalam tentang manusia dan kemanusiaan. Dia mensugesti idealisme kejujuran, pengabdian dan cinta. Karena itu, bagi seorang berprofesi politikus yang sehari-hari terbenam dalam warna politik praktis, sangatlah bermanfaat bila selalu nyebur dalam keseimbangan merefresh hidup pada nafas dunia seni.
Seirama pula yang dituturkan Umbu Landu Paranggi (penyair/presiden Malioboro, Jogja), bahwa karya-karya puisi semestinya hadir dalam jiwa dan perilaku bagi seorang pejabat bupati, gubernur dan presiden. Pejabat mesti menghidupkan ruh puisi dalam tiap kesempatan membangun daerah dan bangsa, meskipun ia sendiri tak bisa membuat karya puisi. Membaca karya-karya sastra berbobot akan menyalakan bara imajinasi yang dapat melahirkan gagasan-gagasan brilian dalam pembangunan. Demikianpun pada sebuah sapuan warna karya lukisan, monumental patung, liukan indahnya kaligrafi, kekokohan arsitektur, pola gerak tarian, teater, musik serta karya seni lainnya.
Ladang tumbuh kesenian dalam kehidupan yang bertumpu pada perasaan sebagai balance dari pikiran, semakin membuktikan eksistensinya dalam perjalanan sejarah manusia, bahwa fitrahnya tidak dapat ditimbun atawa dihilangkan dengan seabrek perkembangan peradaban yang diulek oleh unsur pikiran. Ia bahkan dengan alamiah luruh pada eksistensi manusia yang sejati, yakni pikiran dan perasaan. Berupaya terus harmoni serta seimbang. Menembus sekat ras, bahasa, negara dan menemukan cara untuk menghubungkan rasa manusia yang universal.