Kampus: Menjaga Lentera di Tengah Gelap Zaman

Oleh: Muliadi Saleh

ADA kampus yang berdiri tak hanya dari batu bata, tapi dari cita-cita. Kampus bukan sekadar tempat kuliah, tetapi altar ilmu, tempat generasi dipahat dengan nilai, bukan hanya diajar dengan teori. Dulu, kampus didirikan sebagai jawaban dari jeritan bangsa. Hari ini, kita bertanya: masihkah kampus menyala sebagai lentera atau justru redup dihempas angin zaman?

Ilmu Dulu: Diburu dengan Lapar, Diamalkan dengan Ikhlas

Dalam kenangan yang tak tertulis, ilmu dahulu dikejar dengan kaki penuh debu dan perut yang sabar menunggu senja. Ijazah bukan tujuan, tapi hasil samping dari pencarian makna. “Mallete letei”, orang Mandar bilang. Bertahan dalam keterbatasan, demi menyentuh secuil cahaya pengetahuan.

Menurut Prof. H.A.R. Tilaar (2003), pendidikan tinggi yang sejati adalah “proses pembebasan manusia dari ketidaktahuan, dari ketertindasan, dan dari keterasingan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.” Ilmu adalah proses memanusiakan manusia. Maka tak heran, dahulu ilmu mudah diamalkan, karena ia menetas dari kejujuran belajar.

Namun kini, ilmu ada di mana-mana. Dalam ponsel, dalam klik, dalam video pendek. Tapi mengapa terasa makin sulit diamalkan? Mungkin karena ilmu kini diringkus dalam gelar, bukan dalam akhlak. Ia menjelma informasi, bukan lagi hikmah.

Ijazah: Dulu Mahkota, Kini Bisa Dibeli

Ijazah dahulu adalah buah dari kerja keras dan airmata. Kini, di beberapa tempat, ia bisa dibeli seperti tiket konser. Tak perlu riset, tak perlu membaca, cukup uang dan koneksi. Di Sulawesi Barat sendiri, data Badan Pusat Statistik (2023) mencatat bahwa lebih dari 21,4% lulusan sarjana belum bekerja sesuai bidangnya—banyak karena ketidaksesuaian kompetensi.

Fenomena ini selaras dengan kritik Prof. Rhenald Kasali (2022), yang mengatakan bahwa banyak perguruan tinggi kita “terjebak dalam logika pasar”, mengejar kuantitas lulusan tanpa jaminan kualitas. Di sinilah pendidikan kehilangan rohnya—ketika kampus lebih sibuk dengan akreditasi daripada aktualisasi.

Kampus Swasta: Respon Masalah atau Respon Peluang?

Kampus dahulu dibangun untuk menjawab luka bangsa. Universitas, kata Ki Hajar Dewantara, harus menjadi tempat lahirnya pemimpin masa depan yang “berbudi pekerti dan berpikir merdeka.” Namun sekarang, banyak perguruan tinggi swasta lahir bukan karena masalah, tapi karena peluang. Bukan karena tangis rakyat, tapi karena hitung-hitungan cuan.

Bahkan tak sedikit yang dijadikan pikkonyoang—usaha keluarga. Dosen bisa jadi ayah, rektor bisa jadi paman, bendahara adalah istri. Ilmu pun jadi urusan bisnis. Maka tak heran, banyak kampus yang melahirkan lulusan tanpa keterampilan, tanpa daya saing.

Statistik: Banyak yang Lulus, Sedikit yang Siap Hadapi Dunia
Data dari Kemendikbudristek (2023) menunjukkan bahwa setiap tahun Indonesia meluluskan lebih dari 1 juta sarjana, namun sekitar 15-20% di antaranya menganggur dalam 1 tahun pertama. Di Sulbar sendiri, lulusan sarjana masih mendominasi daftar pencari kerja yang belum terserap.

Ini bukan hanya soal lapangan kerja, tetapi juga soal kualitas dan kesiapan. Banyak kampus hanya menghitung lulusan, bukan menghitung kontribusi. Padahal, seperti diungkap oleh UNESCO (2015), “pendidikan tinggi harus menjadi kekuatan pendorong pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar saluran kelulusan.”

Refleksi: Menyelesaikan atau Diselesaikan?

Seorang dosen pernah ikut sebagai penguji di Universitas Sulawesi Barat. Kadang ia meledek dengan senyum getir, “Andangpao mie mala selesai, tapi anda DISELESAIKAN.” Ada perbedaan besar antara mahasiswa yang selesai belajar dan yang ‘diselesaikan’ karena target kampus. Selembar ijazah tanpa penguasaan ilmu adalah kertas tak bermakna—seperti surat kosong yang dikirim ke masa depan.

Kampus harus menjadi tempat di mana anak pejuang sawah bisa bicara ilmu, dan anak penjaga ternak bisa menulis riset. Tempat di mana yang miskin bisa cerdas, dan yang lemah bisa kuat karena ilmu.

Menjaga Nyala di Tengah Redup Dunia

Kini kita di persimpangan. Apakah kampus akan tetap menjadi cahaya yang memandu arah, atau menjadi bagian dari kegelapan yang menyesatkan? Di tengah zaman yang bising ini, kampus harus bersuara. Bukan hanya dengan kata, tapi dengan teladan.

Ijazah harus kembali menjadi simbol perjuangan, bukan simbol belanja. Ilmu harus kembali menjadi cahaya dalam gelap, bukan sekadar gelar dalam CV. Kampus harus menjadi tempat pertumbuhan manusia utuh—yang berpikir jernih, berhati bersih, dan berbuat benar.

Karena bangsa yang besar bukan diukur dari gedung tinggi atau jalan lebar, tapi dari kampus-kampus yang mampu mencetak manusia berhati luas dan berakal tajam. Maka jagalah lentera itu, sebelum redup selamanya.