Oleh: Adi Arwan Alimin
(Mentor Jurnalistik)
Masa mencatat di notes telah hampir punah bagi pewarta. Kemajuan teknologi yang menuntut kecepatan membuat cara merekam komentar narasumber menjadi pilihan utama. Saya kini makin jarang melihat wartawan atau jurnalis yang bekerja di lapangan mengandalkan catatannya sebagai penyelia ingatan, diantara bahasa tubuh sumber informasinya.
Setiap orang sesungguhnya memiliki ingatan amat terbatas, hingga tak heran ada ungkapan yang menyebut, saya dengar saya lupa, saya tulis saya ingat. Dalam sejumlah diskusi dengan pegiat media, pun para penulis muda, saya selalu mengingatkan, meski teknologi makin canggih kemampuan mencatat secara langsung dari sumber pertama masih begitu penting.
Kemampuan koreksi untuk menjaga akurasi dapat dimungkinkan bila pewawancara tidak hanya meletakkan, atau mengapungkan alat recorder, tetapi disertai note yang dipegangnya. Sekali lagi, manusia memiliki daya ingat yang terbatas, sementara catatan yang diulik dari teknik menulis cepat akan sangat membantu.
Jurnalisme konvensional memang tengah mengalami transformasi, dari era mesin tik menuju zaman Blackberry, hingga etape Android saat ini. Falsafah berita sebagai kabar yang telah terjadi kini berubah menjadi proses jurnalistik yang sedang berlangsung. Betapa teknologi informasi membuat perubahan ini amat cepat. Namun, mestinya disertai progres tata kerja, dan daya saing kompetensi sumber daya manusia yang dapat mengimbangi iklim media baru ini.
Salah satu ciri utama jurnalistik dalam media jaringan yakni kecepatan. Semua media kemudian saling berlomba mengejar kata paling pertama, dan paling terkini sementara aspek akurasi hampir sering diabaikan. Pembaca dapat memilah konten berita yang konon paling anyar, namun menafikan keberimbangan, dan nir-klarifikasi yang menyebar luas di media sosial. Publik pun mendapat informasi yang absurd.
Sebagai mentor jurnalistik, saya ingin mengatakan, jurnalisme apa yang sedang ada di tengah-tengah kita. Apakah pertumbuhannya diikuti dengan kualitas pada sama banyaknya jumlah media dewasa ini. Faktanya teknologi informasi saat ini tidak berada di ruang hampa. Pembaca yang disebut audiens, khalayak, pemirsa, penonton, maupun pendengar bukanlah entitas pasif. Tapi mereka memiliki kecerdasan tersendiri.
Ignatius Haryanto, dalam buku Jurnalisme Era Digital (2014), menyebut, saat ini penyedia informasi tidak hanya datang dari wartawan, tetapi juga dari orang biasa. Saking banyaknya pertimbangan atas kabar yang disebut “informasi” kita kemudian seolah menghadapi tsunami informasi. Sejak tahun 2007 silam, saat masih aktif di newsroom, gejala citizen atau pertumbuhan netizen telah saya gaungkan. Tak heran bila di Harian Radar Sulbar sejak masa itu, publik mulai diajak ikut aktif mengabarkan.
Dan, kini melalui jejaring sosial pikiran itu terbukti. Bahwa media yang hanya mengandalkan semangat konvensional bakal mengalami tantangan besar. Tetapi saya masih yakin bahwa diskusi berat di ruang-ruang redaksi dalam pergumulan isu dan setting wacana, masih akan tetap paling baik, tinimbang landasan pegiat jurnalistik yang hanya mengandalkan kecepatan viral, tetapi dirancang gelintir manusia penyuka teknologi informasi semata.
Sejatinya, media apapun harus dibangun oleh para wartawan berkualitas. Jika tidak, hubungan jurnalisme dan media sosial akan makin merapuhkan semangat kita untuk terus menjaga mutu karya jurnalistik. Ini seharusnya makin dimengerti, dan didalami. Nilai-nilai jurnalistik sampai kapan pun harus memiliki tempat paling utama, disela serbuan jejaring dalam jaringan ala android per detik. (*)
Sulhan Makassar, 16 Januari 2017