Inilah Mosaik Rindu Istri Nelayan

Laporan: Nurliah Nuhun

#Serial Pemburu Telur Ikan Terbang

Pagi masih buta, deru mesin terdengar. Kapal motor melaju menuju ke laut lepas tanpa mempertimbangkan awan yang mengggelap di atas langit.

Resah di hati para istri nelayan tentu telah membeludak, seakan memecah belah dua dada yang akan menanggung kerinduan tak tertebus berapa malam lamanya. Ada Kristal pada dua mata para istri nelayan yang melapas suaminya menembus keras ombak dan angin kencang. Hanya tergenang, ingin rasanya ia pecahkan tapi tertahan kata pimali.

mau tau na manaunna paqmaiq maqita to miakke, tatteng paqbalian, anaq atau kandiq, andan toi mala na diparaqdangan uwai mata, sanggaq dipeqammeang tappaq mi naung” (Bagaimana pun pedihnya perasaan melihat seseorang yang berangkat, tidak pasangan, anak ataupun adik, pantang bagi kita untuk menitikkan air mata, cukup ditelan dengan penuh keikhlasan). Tutur Sunnia (50).

Perempuan paruh baya yang mengantar suami, anak dan sanak keluarga lain sampai di bibir pantai itu, menjelaskan dengan penuh ketabahan meski dengan mata yang berkaca-kaca. Tidak hanya Sunnia, di pagi Sabtu yang mendung itu, ada puluhan istri, ibu dan anak-anak yang mengantar para keluarga. Juga, mereka memiliki ketabahan yang dirawat selama puluhan tahun.

Menjadi istri nelayan bukanlah hal yang mudah, ada banyak tabah, ikhlas dan ketangguhan yang harus selalu dirawat dengan baik dan ada air mata yang hanya bisa dikeluarkan di atas sajadah. Sebab tidak jarang pada malam-malam pertama saat kepergian suami, jangankan untuk makan sesuap nasi, menelan seteguk air pun terasa akan berat. Di pikiran mereka hanya akan ada suami yang tidak bisa diketahui kabarnya.

Seperti percakapan Sunnia dengan istri nelayan lainnya, “dzua toi, battunna kaccang sannaq angin, membueq tonganaq karao bongi, balisa sudze-dze tongan wai mata u, sanggaq merau’-rau tappa lao di Puang bengani assalamakan torayau” (Pernah suatu malam, saat angin berhembus kencang, saya bangun dengan perasaan gelisah dan mata yang yang berkaca-kaca, saya hanya meminta pada Allah agar orang yang sedang mencarikan nafkah untuk keluarga diberi keselamatan.”

Selain meminta kepada Sang Khalik, ada hal-hal lain yang dilakukan oleh para istri nelayan, ketika angin berhembus kencang. Biasanya para istri nelayan, akan menangkal kencang angin dengan memasang pikelluq di depan pintu, atau menaruh bantal pada posiq ariang. Ketika ditanya tentang arti dari apa yang dilakukan, para istri nelayan cukup menjawab dengan tenang. Bahwa ini sudah menjadi kebiasaan dan merupakan petuah dari leluhur.

Pun perkara setia, pengabdian bahkan keromantisan, bukan lagi pertanyaan atau pernyataan yang mengandung keraguan, mereka memilikinya dan sulit untuk dilepaskan. Sunnia dan perempuan-perempuan lainnya, mengabdi dan setia dengan sebaik-baiknya, sebagaimana konsep Siwalipparriq yang dianut para tetua, mereka semua memilikinya.

Bagi para istri nelayan ikut turun andil untuk mempersiapkan kebutuhan logistik ataupun pembuatan alat-alat penangkapan telur ikan adalah kewajiban yang berberkah.

Setiap musim potangngangan (perburuan telur ikan tui-tuing) tiba, aroma cawe-cawe janno akan tercium dari dapur-dapur istri nelayan atau tumbukan batte anjoro di parriqdiq yang berdengung keras. Mereka akan antusias menyiapkan makanan atau lauk pauk yang bisa bertahan lama untuk dijadikan bekal saat para suami motangnga. Belum lagi keterlibatan para istri saat menyiapkan peralatan. Seperti yang dilakukan Sunnia, dua hari sebelum keberangkatan suaminya, ia menyempatkan diri, sehari untuk meninggalkan Tandayangnya (alat menenun sutra Mandar), demi membantu suami dan anak-anaknya untuk mengerjakan daun kelapa yang nantinya akan diikatkan dengan epeq-epeq.

Macoa toi itaq disaqding di’o makkalulu, yaq makkurangngi mi tau pira jam-jamnna tommuane, maudzi na sanggaq massangaq I tau, dibutungan dipeleiang tandayang.” (Kebahagiaan tersendiri bagi kami karena dapat membantu, setidaknya mengurangi beban kerja para laki-laki meski tugas kami hanya memisahkan lidi daun kelapa lalu mengikatnya, sengaja kami meninggalkan tenunan kami).

Ketangguhan serta ketabahan para nelayan memang patut diacungi jempol, selain terlibat langsung dalam proses persiapan keberangkatan, para ibu-ibu yang bermukim di Desa Bala, Kecamatan Balanipa ini, juga tidak akan berpangku tangan sembari menunggu kepulangan suaminya.

Mereka akan tetap bekerja, selain memang untuk membantu perekonomian keluarga (mencukupi kebutuhan sehari-hari), hal ini juga dilakukan agar kerinduan dan kegelisahan yang dirasa tidak terlalu diratapi. Pekerjaan yang biasa dilakoni adalah manetteq/menenun, tapi pada musim angin timur seperti ini, kebanyakan istri nelayan juga akan menyelingi waktunya dengan maq alli katteq (jual beli katteq). Katteq adalah bekas tempat bertelur ikan tui-tuing, yang diambil dari paqbulu. Para perempuan-perempuan termasuk istri nelayan, akan membersihkan telur-telur yang tersisa dan akan dijual dengan harga yang lebih murah.

Selama proses perburuan atau penangkapan telur ikan tui-tuing, berbagai cara dilakukan oleh para istri nelayan untuk memohon kepada Sang Pemilik alam semesta untuk keberkahan dan keselamatan suami maupun anak-anaknya. Salah satu yang dilakukan selain kewajiban untuk salat lima waktu adalah dengan melakukan Tulaq Bala.

Mattulaq Bala dilakukan setiap Jumat pagi, dengan nampang yang berisi Loka Tiraq, Buras dan kande-kande. Para istri nelayan akan melangkah dengan penuh semangat dan harapan untuk keselamatan serta rindu yang kerap bersiteru dengan cemas menuju rumah tetua kampung. Menitip do’a dengan penuh harap yang dipanjatkan menembus langit ketujuh dan sampai dipangkuan Tuhan. Dicurahkanlah anugrah pada Torayanya agar diberi keselamatan dan reski yang melimpah-ruah.

Bagi mereka itu atas nama rindu yang membuncah dada. Segala bentuk ikhtiar akan dilakukan demi melawan kecemasan yang kadang merajam hati di tengah gelap malam, dan suara hembusan angin timur yang tak jarang berhembus kencang mengetuk dinding kamar istri nelayan.

Apa yang bisa dilakukan selain ikhtiar, berdoa serta melakukan anjuran-anjuran orang tua yang mengandung ussul. Semebab, seperti apa yang selalu terucap dari mulut pendahulu, “Iyyapa na disangai salamaqposasi mua’ me’oro rape tonganmi dini di boyang” (Keselamatan nelayan barulah dipastikan ketika tubuhnya sudah duduk rapat di dalam rumah).