Arya Budi, peneliti pada Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM menyebutkan, analisis “big data” atau proses pengujian data yang besar untuk menemukan pola dan korelasi yang tidak diketahui, trend, preferensi dan informasi lain; dengan menggunakan metode application programming interface di Twitter.
Hal ini dilakukan dari 27 Januari hingga 19 Februari 2019 terhadap 2840 percakapan twitter dan 276 media online.
Pemetaan isu golput berdasarkan sebaran geografis menunjukkan Jawa masih menjadi basis penting percakapan isu tersebut terdiri 3 propinsi yaitu propinsi Jawa Barat, DKI Jakarta dan Jawa Timur.
“Percakapan golput sangat Jawa-sentris. Prosentasi paling besar golput dipercakapkan di propinsi Jawa Barat (21,50 persen), kedua DKI Jakarta (14,94 persen), di propinsi Jawa Timur (14,64 persen), sisanya tidak signifikan meskipun di Yogyakarta sendiri hampir 10 persen. Di Yogyakarta cukup besar sebenarnya, jika dibanding propinsi lain seperti Nusa Tenggara Timur yang kurang dari 1 persen,” ujar Arya
Sementara pemetaan isu golput berdasarkan pergerakan waktu atau time series, menunjukkan ada 2 hal yang menyebabkan masifnya perbincangan dan persebaran isu golput.
Pertama, kata Arya, percakapan isu golput melonjak mencapai ribuan dalam satu hari karena perbincangan isu Golput dimulai oleh orang yang memiliki banyak follower, seperti terjadi pada 5 Februari. Kedua, dipicu oleh adanya momentum politik seperti pada 18 Februari, karena sehari sebelumnya berlangsung Debat Calon presiden.
“Isu golput itu menjadi perbincangan serius dan demikian masif ketika ada orang berpengaruh yaitu followernya banyak. Malam tanggal 17 itu berlangsung debat capres, kemudian menjadi naik sedemikian besar kenaikannya (perbincangan tentang golput) di tanggal 18 Februari. Isu golput menjadi begitu frequent (sering) diperbincangkan itu juga karena adanya momentum politik,” jelas Arya.
Dari sebanyak 2.840 percakapan tentang golput terdapat 9,5% percakapan yang ditujukan untuk mengkampanyekan golput. Artinya, 1 dari 10 percakapan tentang golput adalah percakapan untuk mengkampanyekan golput.
Sementara itu dosen DPP Fisipol UGM Wawan Mas’udi mengingatkan, banyaknya golput harus direspon serius oleh penyelenggara maupun peserta pemilu.
Sebab, golput berdampak pada delegitimasi pemilu dan mengancam proses demokrasi di Indonesia.
“Kita harus bersama-sama menaruh isu golput ini secara serius karena dampaknya pada delegitimasi pada sistem demokrasi di Indonesia. Dan ini benar-benar terjadi. Kita sedang mengalami proses pematangan demokrasi. Sistem demokratisasi kita sadar atau tidak sadar yang mulai menunjukkan ekspresi ketidakpercayaan. Kalau situasi golput ini kita biarkan tanpa kita handle secara proper, justru suara-suara ketidakpercayaan pada demokrasi akan semakin kuat,” ujar Wawan.
Secara terpisah, Prof. Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah Konstitusi mengatakan, karena pemilu merupakan hak maka tidak ada sanksi hukum kepada orang yang memilih untuk tidak memilih atau golput.
“Kalau sekedar pernyataan agar orang golput itu tidak ada hukumannya. Yang ada hukumannya itu kalau menghalang-halangai orang yang akan memilih. Sehingga kalao soal golput itu yang ada seruan moral: jangan lakukan karena golput hanya akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak baik. Orang golput itu biasanya orang idealis, sehingga kalau memilih dia pasti akan memilih yang lebih baik. Nah, kalau yang idealis dan mau memilih yang lebih baik tidak mau memilih kan nanti yang terpilih ya yang tidak baik, rugi kalau golput,” ujar Mahfud.
Irwan Braswara, ketua kelompok mahasiswa sejumlah perguruan tinggi di Yogyakarta yang mereka namakan “Pembebasan Kolektif” dan memilih golput, mengatakan kepada VOA bahwa mereka memilih golput sebagai ekspresi rasa kecewa terhadap 2 capres pemilu 2019.
“Kalau memilih, dari segi program itu tidak ada jaminan yang benar-benar berpihak kepada kelompok masyaraat yang tertindas. Kedua capres kalau ada yang menang pun akan tetap merugikan kami yang sehari-hari bergelut dengan teman-teman buruh, petani yang dirampas tanahnya. Semangat kami dengan golput agar rakyat mengetahui kekuatannya sendiri. Juga mulai setidaknya bicara politik sesuai dengan esensi demokrasi, suara rakyat terkecil itu juga harus didengar. Kami mengungkapkan ekspresi kekecewaan pada proses pemilu saat ini,” ujar Wawan
Alissa Wahid, koordinator Gusdurian mengaku tidak bisa melarang orang yang memilih golput, bahkan ia mendukung sikap kritis yang ditunjukkan oleh mereka yang memilih golput. Tetapi ia menyarankan sebaiknya masyarakat memilih kali ini.
“Golput itu kan hak, semua orang boleh memilih untuk tidak memilih, sehingga golput boleh-boleh saja. Gerakan golput yang sekarang muncul lebih karena kedua capres itu kurang memberi alasan kepada warga negara untuk memilih mereka. Baik 01 maupun 02 sangat kurang upayanya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang strategi maupun konsep bernegara seperti apa yang ditawarkan. Kalau bagi saya, lebih baik memilih untuk saat ini untuk menentukan wajah kepemimpinan masa depan, karena ada calonnya,” ujar Alissa. [ms/em]
VOA Indonesia