Ibu Agung Hj. Andi Depu : Simbol Perlawanan Rakyat dan Nasionalisme

Tim Perumus berdasarkan SK Nomor 009.7/1055/XII/2017/DINSOS terdiri dari H. Syahrir Hamdani (Ketua Tim Perumus), Muhammad Munir (Sekretaris), yang diperkuat oleh H. Rizal Sirajuddin, Sri Musdikawati, Adi Arwan Alimin, Safaruddin Bora. Keberadaan Safaruddin Bora sebagai salah satu pentolan Tim Pengusul 2009 lalu sungguh menjadi sebuah keberkahan sebab terus terang, keterlibatan Penulis dalam Tim ini terus terang hanya mengandalkan semangat belajar. Ilmu dan informasi terkait sosok Andi Depu yang Penulis miliki sungguh minim. Sebagai Tim, Penulis tentu saja harus mampu mengubah tantangan ini menjadi peluang, sebab jika tidak maka endingnya bisa saja sampai pada tahapan penghargaan Tanda Jasa maupun Tanda kehormatan bagi Andi Depu.

Ibu Agung Hj. Andi Depu bersama Kapten Idrus, Sumber Foto : Panitia Perumus Pengusulan Tahun 2017

Sebuah ungkapan yang kerap menjadi nutrisi dalam proses penjejakan Andi Depu. Spirit itu tak lain adalah sebuah tulisan Juri Lina (Swedia) “Architects of Deception – The Concealed History of Freemansory”. Ia menulis bahwa ada tiga cara yang paling dahsyat untuk menjajah dan melemahkan sebuah bangsa yakni : Kaburkan sejarahnya; Hancurkan bukti-bukti sejarahnya agar tak bisa dibuktikan kebenarannya; dan putuskan hubungan mereka dengan leluhurnya, katakanlah bahwa leluhurnya itu bodoh dan primitif. Kesadaran inilah yang melecut sehingga akhirnya mampu menyelesaikan proses pemberkasan secara baik, yang endingnya adalah Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional bagi Andi Depu pada tanggal 8 November 2018 yang diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo di Istana Negara.

Demkianlah, dalam pandangan penulis, sejarah seharusnya tidak hanya berhenti dipahami sebagai peristiwa yang pernah terja­di pada masa lalu, apatah lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang sudah kedaluwarsa, tetapi sejarah mesti dilihat sebagai sebuah mata rantai dan dinamika, bahkan dialeketika yang padanya terletak berlipat-lipat bobot muatan nilai yang dapat dipelajari bahkan dipetik untuk dijadikan modal sosial (social capital) bagi perjalanan kita hari ini dan ke depan.

Dalam Al-Qur’an juga ditegaskan : Laqad kana fi qasasihim ‘ibratul li ulil albab – Makana hadisan yuftara – Walakin tasdiqalladzi baina yadaihi wa tafsila kulli saiy-in – Wa hudan wa rahmatan liqaumin yu’minun  (Sungguh pada sejarah itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal, Al-Qur’an itu bukanlah cerita yang dibuat-buat melainkan membenarkan yang sebelumnya (sejarah) dan menjelaskan segala sesuatunya dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS : Yusuf : 111). Pada surah Al-A’raf  ayat 176 juga disebutkan Faqsusil qasasa la ‘allahum yatafakkarun  (Maka ceritakanlah kisah-kisah (sejarah) itu agar mereka berfikir).