Ibu Agung Hj. Andi Depu : Simbol Perlawanan Rakyat dan Nasionalisme

Dalam catatan H. Ahmad Asdy, hari kelahiran Ibu Agung HJ. Andi Depu itu terjadi pada bulan Agustus 1907. Namun versi lain menyebut tanggal 19 September I907. Hal itu ditulis Muhammad Ronggur, dalam Biografi Ibu Depu: Sebuah Episode Perjuangan Seorang Bangsawan di Tanah Mandar (Ujung Pandang: Fakultas Sastra, Universitas Hasanuddin, (skripsi S1, 1991), hIm. 37. Hal ini juga dikutip dalam tulisan Dr. Suriadi Mappangara. Tahun kelahirannyapun ada versi yang mengatakan 1907 dan ada pula yang menulis 1908. Tapi terlepas dari itu semua, saya kemudianmenyusun buku berjudul Ibu Agung Hj. Andi Depu 1907-1985 yang diterbitkan oleh Gerbang Visual, Mei 2018 dan menjadi salah satu lampiran pemberkasan dalam pengusulan Andi Depu sebagai Pahlawan Nasional ke Kementerian Sosial di Jakarta pada awal 2018 lalu. Dan dokumen resmi Andi Depu sebagai pahlawan akhirnya diltuliskan secara resmi tahun 1907.

Demikianlah sekelumit tentang kota Tinambung, kota yang hari ini melahirkan seorang pahl;wan nasional bernama Andi Depu. Andi Depu sesungguhnya bukan nama resmi, iya hanya sebuah tedze-tedze yang kemudian melekat. Ia memiliki nama kecil Andi Mania, setelah dewasa berganti menjadi Sugiranna Andi Sura namun tetap penyematan dan panggilan beliau dalam lingkungan istana adalah Andi Depu, termasuk teman-teman sepermainan dan seperjuangannya kerap menyapanya Andi Depu atau Puang Depu. Nama Depu diadopsi dari kata Karepu’ (tidak cantik atau jelek) sebab wajahnya memang beda dari saudara-saudaranya yang lain.

Samaturu, Ibunda Andi Depu adalah istri ketiga dari La’ju Kanna Doro. Samaturu adalah bangsawan Mamuju berdarah Balanipa dari keturunan Pakkalobang, Arajang Balanipa ke-36. Dari Samaturu ini dikaruniai putra 4 orang dan 1 orang putri masing-masing bernama (1) H. Abd. Madjid bergelar Aco Manori Ammana I Mangapai (Mara’dia Matoa Balanipa merangkap Mara’dia Tomadzio); (2) H. Abd. Razak atau Pattana Bandaco (Wafat di Mekah di usia muda); (3) H. Abd. Hafied bergelar Aco Udang Pattana I Patteng menjabat sebagai Mara’dia Tappalang yang mempersunting A. Bahariah yang bergelar Iroca’; (4) Hj. Andi Depu atau Karepu’ (tidak cantik) yang sebelumnya bernama Sugiranna Andi Sura dan Andi Mania.; (5) H. Abd. Malik Pattana Endeng yang juga diberi gelar Aco Mea (Mara’dia Mosso pada masa arajang ke-50).

Andi Depu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan istana yang ketat. Ia bahkan tak sempat menikmati masa sekolah dan masa remaja yang indah sebab pada umur 15 tahun (16 Tahun) ia kemudian harus menikah dengan Andi Baso Pawiseang. Andi Baso Pawiseang inilah yang menggantikan La’ju Kanna Doro sebagai Arajang Balanipa saat menunaikan ibadah haji pada tahun 1921. Ketika datang kabar bahwa I La’ju Kanna Doro meninggal ditanah suci, pihak adat kemudian mendefinitipkan Andi Baso sebagai Arajang Balanipa didampingi oleh Andi Depu. Andi Baso dan Andi Depu hanya dikaruniai anak bernama Bau Parenrengi Depu yang juga akrab dipanggil Yendeng (Mara’dia Malolo pada arajang Balanipa ke-52). (Bersambung)