Catatan Muhammad Munir
Peristiwa kematian memang selalu mengagetkan dan menyisakan rasa kehilangan yang dalam. Hari ini, 29 November 2022 pukul 22.59 rasa itu hadir melalui pesan WA yang memberi kabar bahwa Hassani, Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Polewali Mandar itu tutup usia di Makassar (jenazah sementara perjalanan ke rumah duka saat tulisan ini dibuat).
Rasa kehilangan itu memang ada dan sangat terasa. Betapa tidak, sosok yang membuatku kehilangan itu adalah seseorang yang darinya aku selalu berusaha menghilang dari kehidupannya. Saya yakin, selama ini mungkin ia mencariku, tapi saya selalu ‘merasa benar’ ketika terjauh bahkan menjauhinya.
Merasa BENAR itu terus saja kujaga selama 20 tahun. Ini tentu bukan cerita tentang amarah, dendam atau kebencian, sebab selama ini, kami sering bersinggungan dan kerap bertemu. Tapi itu adalah pertemuan formal yang profesinya memaksaku harus bertemu, bukan antara paman dengan ponakan, bukan antara anak dan bapak.
Tentu tak elok bagiku jika harus merangkai karangan bunga untuk mengantar kepergianmu. Pun jelas tak etis jika tak hadir menyaksikan prosesi pemakamanmu. Sebab antara kita tak ada kebencian, tak ada amarah, apatah lagi dendam. Garis takdir dan guratan tanganlah yang membuat sekat itu tercipta. Secara nashab, Kau adalah saudara kandung dari ayah yang mengantarku ke dunia ini, hingga namamu tercatat sebagai pamanku.
Kau dan bapakku lahir dari seorang ayah yang sama, meski beda ibu. Tapi sekali lagi, takdir mempertemukan kita dengan nasib yang berbeda. Saya mungkin salah, tapi inilah pilihan yang tak pernah memberimu waktu untuk bertanya hingga ajal menjemputmu. Spasi waktu itu terlalu panjang buat kita, hingga aku belum sempat memberikan jawaban atas pilihan itu.
Saya terlalu percaya diri membangun pernyataan untuk mengajakmu bertemu saat aku bisa membuatmu bangga. Aku lupa bahwa rasa percaya DIRI-ku itu tak penting buatmu, sebab kau telah menjadi sosok yang PANTAS untuk aku banggakan. Kenyataan hari ini telah meruntuhkan bagunan pernyataan itu.
Hassani, Izinkan Aku Memanggilmu Paman
Berikan aku waktu untuk menulis sebagai doa buatmu. Bahwa hari ini, aku ingin bersaksi KAU-lah pemenang sejati dari pertarungan egoku. Jujur selama ini, aku enggan melisantuliskan namamu, sebab aku belum mampu membuatmu bangga. Tapi hari ini, tepat ketika tubuhmu terbaring kaku atau mungkin ritus kematianmu telah terpahat pada gundukan tanah dan nisan yang bertulis namamu. Aku harus menulis tentangmu. Dengan begitu, aku tak lagi harus diburu rasa bersalah sepeninggalmu. Kita harusnya saling mengakui dan saling mendukung. Meski semuanya telah berakhir di altar kalimat suci Inna Lillahi Wainna Ilaihi Rajiun.
Maafkan Aku, Paman
Kau pasti ingat, suatu ketika di tahun 1995, saat menjemputku di Madrasah Aliyah Negeri Lampa (Sekarang MAN 1 Polman), tempatku menuntut ilmu. Kau memberiku pilihan agar aku mau bersekolah di lembaga pendidikan yang kau rekomendasikan.
Aku tahu persis alasanmu: Kau ingin mengubah nasibku dan mengikuti jejakmu yang kala itu telah sukses menjadi seorang ASN. Entah, aku sendiri tak tahu mengapa pilihanku tetap tak ingin pindah sekolah. Aku terlanjur merasa nyaman di sekolahku.
Dan hari itu, kau nampak begitu sayang padaku, hingga tak memperlihatkan rasa kecewamu atas pilihanku. Kau bahkan tetap memberiku tumpangan untuk kau bonceng dengan motormu, saat itu menjadi pengalaman pertamaku naik motor. Bahkan selanjutnya, kau datang ke sekolahku dan mengajakku sembari mengajariku mengendarai motor.
Tahun 2001, ketika kau makin sukses, kau masih peduli mengajariku menyetir mobil. Saat itu, mobil Suzuki Katana itu menjadi kenangan indah buatku, sebab dari situ aku lebih mahir berkendara. Bahkan saat kau menikah, aku menjadi satu-satunya ponakanmu yang kau percaya memegang kunci mobilmu dan mengurusi segala tetek bengek persiapan pernikahanmu. Sejak itu, kita bahkan tampil sebagai sahabat.
Tahun 2002, menjadi akhir dari persahabatan kita selanjutnya. Kendati sebelumnya kita seakan adu kemampuan menjadi khatib di masjid yang pembangunannya dipelopori oleh H. Abd. Razak (kakek). Sebagai pentolan madrasah, dunia khatib tentu bukan masalah bagiku. Tapi bagimu, disiplin ilmu dan profesimu tentu saja membuatku ragu.
Tapi akhirnya, kau mampu tampil pada mimbar jumat. Seiring berjalannya waktu, kariermu kian cemerlang. Kita tak lagi punya waktu untuk saling bertemu. Terlebih urusan rumah tangga dan kerjaan kantor yang tentu menyita waktu.
15 Tahun kemudian, kita dipertemukan saat menjabat sebagai Sekretaris Bappeda Polman. Pertemuan kita tentu bukan sebagai pribadi, melainkan tuntutan profesi yang membuat kita harus bertindak professional, bukan sebagai ponakan dan paman.
Terakhir kita bertemu beberapa kali saat menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian Polman. Lagi-lagi hanya sebatas hubungan profesi, bukan sebagai pribadi. Kendati kemudian program-program yang kita jalankan tak lagi seirama, hingga volume perjumpaan kita semakin jarang, komunikasi tak lagi lancar, silaturrahmi juga mulai terganggu dengan alasan dinas yang tentu sangat menyita waktu. Sontak, ketika kabar duka tentangmu terdengar, saya merasa sangat terpukul dan nyaris tak percaya. Tapi kenyataan hari ini membuatku kembali sadar, bahwa Kullu Nasfin Dzaiqatul Maut (semua yang bernyawa pasti akan mati).
Selamat Jalan Paman ! Maafkan aku yang tak berkesempatan melihatmu tersenyum bangga padaku. Aku yang salah. Semoga Allah SWT senantiasa melapangkan kuburmu dan merahmatimu. Lahul Fatihah!
Dinihari, 30 November 2022
Pukul 02.09 menit