Gerakan Antivaksin Covid-19; Apa Kata Utilitarianisme

Penulis: Muhammad Farhan Ghibran
Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sudah hampir dua tahun berlalu sejak kasus pertama Covid-19 muncul di Indonesia, sampai hari ini pandemi belum juga berakhir. Bila kita melihat satu tahun lebih ke belakang, kita barangkali mengingat rentetan pernyataan hoaks bernada guyon yang dilontarkan oleh sejumlah pejabat publik sebelum kasus Covid-19 pertama di Indonesia mencuat, di antaranya yang dikatakan oleh Menteri Perhubungan, Budi Karya Sumadi bahwa imun tubuh orang Indonesia kebal akan virus Covid-19 disebabkan oleh kebiasaan memakan nasi kucing, dilanjut oleh Mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto bahwa keberadaan Covid-19 tertolak di Indonesia karena doa yang dilantunkan oleh semua rakyat Indonesia, dan terakhir dari Menteri Perekonomian, Airlangga Hartanto bahwa virus Covid-19 tidak bisa masuk ke Indonesia karena proses perizinan di Indonesia berbelit-belit.

Pernyataan-pernyataan di atas bagi kita barangkali terkesan menunjukkan sikap tak acuh, mengerdikan, dan mengentengkan bahaya Covid-19, seolah-olah pemerintah hendak menentang peringatan yang digemakan sejak tanggal 31 Januari 2020 (satu bulan lebih sebelum kasus Covid-19 pertama di Indonesia) oleh WHO (World Health Organization) mengenai darurat kesehatan global. Pemerintah bahkan tampaknya seperti ingin meneguhkan laporan yang dirilis oleh PISA (Programme for International Student Assessment) pada 2018 bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat rendah, itu dapat kita perhatikan dari fenomena yang seringkali muncul di sosial media dan dunia nyata, yaitu sebagian warganet dan masyarakat lebih gemar dan percaya dengan teori konspirasi dan pseudosains (contohnya bumi datar, piramida dibuat oleh Alien, Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman) daripada hasil penelitian yang dibuat berdasarkan metode ilmiah.

Pernyataan-pernyataan di atas juga menimbulkan reaksi berantai (efek domino) terhadap persepsi masyarakat Indonesia pada pemerintah, khususnya pada segala kebijakan pemerintah yang menyangkut penanganan pandemi. Salah satu yang paling mencolok adalah munculnya gerakan antivaksin (anti-vax movement) Covid-19 secara luas di sosial media di Indonesia. Fenomena antivaksin Covid-19 itu dapat kita perhatikan salah satunya pada kasus Jerinx (I Gede Aryastina) yang tempo lalu melakukan propaganda agar masyarakat Indonesia tidak vaksinasi dan melalui komentar-komentar warganet—seperti yang sudah kita saksikan—banyak dari mereka yang mengamini dan mempercayai bahwa pada hakikatnya virus Covid-19 tak lebih dari sekadar konspirasi dunia (pemerintah Indonesia ikut dianggap sebagai antek dari skema internasional yang disusun untuk kepentingan ekonomi oleh elite tertentu) seperti yang dia katakan di status/cuitan/feed-nya.

Tindakan Jerinx dan ucapan-ucapan hoaks yang disampaikan oleh sejumlah pejabat publik di atas cukup membuktikan dan meyakinkan kita bahwa teori konspirasi, pseudosains, dan hoaks menjadi faktor pengaruh mengapa program vaksinasi dari pemerintah belum maksimal.

Akibatnya, program vaksinasi pemerintah yang belum maksimal tersebut akan memperlambat Indonesia untuk mencapai kekebalan komunal (herd immunity). Makin mundur Indonesia berada dalam keadaan kekebalan komunal, maka akan makin banyak orang-orang di sekitar kita yang meninggal dunia, paru-parunya rusak, kehilangan pekerjaan, learning loss, putus sekolah, mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain.

Di tengah fenomena antivaksin dan dampak-dampak negatif Covid-19 di atas, dalam benak kita mungkin muncul pertanyaan “Mengapa ada orang-orang yang tega dengan sengaja membiarkan dirinya tidak divaksin? Padahal dia tidak punya penyakit komorbid atau hal-hal lain yang secara medis mencegahnya untuk divaksin? Bagaimana dengan nasib dirinya sendiri, keluarganya, dan orang-orang di sekitarnya nanti?” Sejatinya pertanyaan-pertanyaan semacam itu adalah ciri khas berpikir ala etika konsekuensialisme, yaitu teori etika yang menilai benar atau salahnya suatu tindakan secara moral hanya bergantung pada hasil yang membawa kepada kebaikan.

Setiap aliran dalam etika konsekuensialisme memiliki pengertian yang berbeda mengenai apa yang dimaksud dengan kebaikan, itu mengapa etika konsekuensialisme mempunyai banyak ragam. Salah satu varian dari etika konsekuensialisme yang hendak kita gunakan untuk menilai apakah gerakan antivaksin Covid-19 itu benar atau salah secara moral adalah utilitarianisme.

Selayang Pandang Utilitarianisme

Dalam kehidupan sehari-hari, kita selalu dihadapkan pada alternatif pilihan. Misalnya, ketika kita merasa lelah dan stres usai bekerja seharian penuh, dipikiran kita mungkin muncul ide untuk refreshing agar tubuh dan mental kita tetap sehat, dan kemungkinan pilihan refreshing yang tersedia bagi kita bisa saja minum kopi bareng tetangga di warung kopi seberang rumah, makan di restoran all you can eat sendirian, kumpul dan menonton televisi dengan keluarga di rumah sembari memakan gorengan yang sebelumnya dibeli di pinggir jalan, menonton film di bioskop bersama kolega, langsung pulang ke rumah untuk tidur, atau yang lainnya.

Selain berkaitan dengan diri sendiri, kemungkinan pilihan juga muncul menyangkut pengambilan keputusan yang berdampak pada orang banyak. Misalnya, pemerintah ingin membangun bendungan untuk persediaan air dan pengurangan kemungkinan banjir bagi beberapa Kabupaten, serta pembangkit listrik untuk satu Kabupaten, yang semua itu dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun, sebagai gantinya pembangunan bendungan itu akan menganggu keanekaragaman hayati (biodiversitas) dan memunculkan masalah sosial-ekonomi warga yang bermukim di sekitar pembangunan bendungan.

Barangkali setelah membaca dua paragraf di atas, kita penasaran dan bertanya “Lalu, apa hubungannya semua itu dengan utilitarianisme?” Bahwa saat dalam kondisi-kondisi seperti di atas, kita kerapkali dibingungkan oleh persoalan moral mengenai mana yang sebaiknya kita pilih sebagai akibat dari banyaknya opsi yang tersedia. Dengan demikian, utilitarianisme ingin menawarkan suatu tolak ukur moral guna membantu kita dalam memilih mana yang terbaik di antara kemungkinan pilihan yang ada.

Sebagaimana yang telah kita bahas, bahwa utilitarianisme merupakan salah satu anggota dari keluarga besar etika konsekuensialisme, yakni teori etika yang menitikberatkan pada kebaikan yang dihasilkan oleh tindakan tertentu. Namun, bagaimana utilitarianisme memaknai kata kebaikan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita menengok ke belakang, tepatnya pada tahun 1789 saat karangan seorang yang dianggap sebagai pendiri utilitarianisme terbit pertama kali dalam bahasa Inggris berjudul “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation” (Pengantar Prinsip-prinsip Moral dan Legislasi), Jeremy Bentham (selanjutnya namanya hanya kita sebut Bentham).

Di bab pertama “An Introduction to the Principles of Morals and Legislation” (1789) dengan tajuk “Of the Principle of Utility” (Prinsip Utilitas), Bentham membukanya dengan menyatakan

“Manusia diatur oleh rasa sakit (pain) dan kenikmatan (pleasure). Alam telah menempatkan manusia di bawah pengaturan dua tuan yang berdaulat, rasa sakit dan kenikmatan. Kedua hal itu semata yang menjadi rujukan mengenai apa yang kita harus lakukan, sebagaimana juga untuk menentukan apa yang akan kita lakukan … prinsip utilitas mengakui ketundukan itu, dan menganggapnya sebagai dasar dari sistem itu ….”

Di sini Bentham mengandaikan bahwa manusia hanya mempunyai dua kutub pertimbangan dalam melakukan suatu tindakan, yakni rasa sakit dan kenikmatan. Bentham melihat manusia selalu memperhitungkan “Apakah tindakan saya menghasilkan kenikmatan atau rasa sakit kepada saya atau orang lain?” Dengan alasan itulah, Bentham menetapkan dua tuan yang berdaulat (rasa sakit dan kenikmatan) sebagai fondasi prinsip utilitasnya.

Dalam pikiran kita barangkali muncul pertanyaan “Apa itu prinsip utilitas? Lalu, apa yang Bentham maksud dengan utilitas?” Mengacu di buku dan bab yang sama, Bentham menjelaskan utilitas dan prinsip utilitas dengan mengatakan

“Prinsip utilitas merupakan fondasi dari pekerjaan saat ini … yang dimaksud dengan prinsip utilitas adalah prinsip yang dapat menyetujui dan tidak menyetujui setiap tindakan apa pun, berdasarkan pada kecenderungan yang mana tindakan tersebut dapat menambah atau mengurangi kebahagiaan pihak-pihak yang berkepentingan: atau, dengan perkataan lain, untuk mendukung atau menentang kebahagiaan itu. Saya katakan mengenai setiap tindakan apa pun; dan maka tidak hanya setiap tindakan dari seorang individu, namun juga setiap tindakan dari pemerintah … yang dimaksud dengan utilitas adalah properti apa pun yang cenderung menghasilkan keuntungan, manfaat, kenikmatan, kebaikan, atau kebahagiaan (dalam kasus ini semua itu memiliki makna yang sama) atau (sekali lagi dengan makna yang sama) untuk mencegah terjadinya keburukan, rasa sakit, kejahatan, atau ketidakbahagiaan ….”

Layaknya sebuah timbangan, prinsip utilitas mengukur berat rasa sakit dan kenikmatan yang dihasilkan oleh suatu tindakan. Apabila suatu tindakan menghasilkan kenikmatan lebih berat ketimbang rasa sakit kepada pihak-pihak yang berkepentingan, tindakan itu dibolehkan (bahkan diharuskan) untuk dilakukan. Konsep tentang prinsip utilitas ini kemudian menjadi ajaran pokok utilitarianisme.

Siapakah yang dimaksud oleh Bentham dengan “Pihak-pihak yang berkepentingan” itu? Masih di buku dan bab yang sama, dia menerangkan

“Masyarakat adalah sebuah tubuh fiktif, yang tersusun dari individu-individu yang dianggap sebagai anggotanya. Kepentingan masyarakat … adalah jumlah dari kepentingan sejumlah anggota yang menyusun masyarakat … sesuatu dikatakan mempromosikan, atau untuk menjadi kepentingan, dari seorang individu, ketika cenderung menambah jumlah total dari kenikmatannya: atau, dengan makna yang sama, mengurangi jumlah total dari rasa sakitnya … suatu tindakan kemudian dapat dikatakan sesuai dengan prinsip utilitas, atau, singkatnya demi, utilitas, (maksudnya sehubungan dengan masyarakat pada umumnya) ketika tindakan itu cenderung lebih besar menambah kebahagiaan masyarakat daripada menguranginya.”

Jadi, individu dan masyarakat yang Bentham bayangkan sebagai tubuh fiktif yang, tersusun dari individu-individu itu, adalah pihak-pihak yang berkepentingan dalam prinsip utilitas.

Jika kita ingin meringkas pemikiran Bentham di atas, bahwa fokus dari penilaian moralnya terletak pada tindakan yang menghasilkan kenikmatan (kebahagiaan) paling besar terhadap sebanyak mungkin orang atau tindakan yang menghasilkan rasa sakit sesedikit mungkin terhadap sebanyak mungkin orang. Oleh Sebab itu, utilitarianisme seringkali oleh dipahami orang banyak melalui slogan “The Greatest Happiness for The Greatest Number

Selaras dengan peribahasa “Tak ada jalan yang tak rusak” Buah pikiran Bentham tentang utilitarianisme pun tidak lepas dari kritik, baik ketika dia masih hidup maupun usai dia meninggal. Salah satunya akan kita bahas di sini.

Coba kita bayangkan di suatu tempat terdapat seorang gelandangan dalam kondisi sehat, hidup sendirian, dan tidak memberikan kontribusi apa-apa kepada masyarakat. Di tempat yang sama, hidup seorang anak muda yang mengalami gagal ginjal dan seorang dokter yang terkena penyakit paru-paru akut, keduanya membutuhkan organ tubuh yang sehat agar nyawa mereka selamat dan tidak lagi merasakan penderitaan karena penyakit-penyakit itu. Berdasarkan utilitarianisme yang dipahami oleh Bentham, seharusnya secara moral gelandangan itu dikorbankan (dibunuh) supaya organ tubuhnya yang sehat itu dapat digunakan oleh anak muda dan dokter yang tengah berjuang melawan penyakitnya masing-masing.

Terdengar mengerikan bukan? Orang yang tidak bersalah atau berdosa harus bernasib sial untuk kebahagiaan terbesar orang banyak? Nurani kita barangkali merasa bahwa gelandangan itu tidak pantas direnggut nyawanya demi utilitas banyak orang. Jika benar, seorang tokoh besar utilitarianisme setelah Bentham, John Stuart Mill (selanjutnya namanya hanya kita sebut Mill), juga merasakan kengerian yang sama, sehingga dia memutuskan untuk melakukan perubahan mendasar terhadap utilitarianisme.

Mill melihat bahwa kasus gelandangan di atas merupakan contoh kesulitan terbesar yang dihadapi oleh utilitarianisme. Meski demikian, dalam karyanya “Utilitarianism” (1863) dia mengatakan

“Aturan moral yang melarang manusia untuk saling menyakiti (di mana kita tidak boleh juga melupakan keterlibatan orang yang melanggar kebebasan orang lain) lebih penting bagi kesejahteraan manusia daripada prinsip apa pun, betapa pun pentingnya, yang hanya menunjukkan cara terbaik mengatur beberapa bidang urusan manusia.”

Pentingnya tatanan keadilan—Mill menyebutnya aturan moral—bagi masyarakat menjadi pemicu nurani kita bergetar, bahkan membuat kita marah ketika tindakan seperti tergambar dalam kasus gelandangan di atas, bertentangan dengan aturan moral. Walaupun demikian, bahwa hak dan kewajiban yang muncul sebagai akibat dari adanya tatanan keadilan menimbulkan sentimen tertentu (perasaan marah) saat aturan moral dilanggar, Mill menerangkan bahwa

“Tampak seperti yang telah diungkapkan, keadilan adalah nama untuk persyaratan moral tertentu, yang, secara kolektif, menduduki tingkat yang lebih tinggi dalam skala utilitas sosial, dan karena itu keadilan menjadi kewajiban yang lebih penting daripada kewajiban yang lain; meski dalam kasus-kasus tertentu bisa saja terjadi di mana kewajiban sosial lain menjadi sangat penting sehingga mengungguli prinsip keadilan.”

Jadi menurut Mill, suatu tindakan mesti sesuai dengan tata perilaku yang paling mendukung kebahagiaan terbesar. Untuk mempermudah, mari kita kembali pada kasus gelandangan sebelumnya. Dalam masyarakat kita terdapat aturan moral yang melarang kita untuk membunuh orang tak bersalah dan andaikata kita mengabaikan aturan moral itu demi apa yang kita nilai sebagai tindakan yang membawa kepada kebahagiaan terbesar, kira-kira apa yang akan terjadi pada masyarakat? Meningkatnya rasa takut, khawatir, cemas, dan kehilangan antarsesama manusia yang justru akan melahirkan ketidakbahagiaan terhadap masyarakat.

Inilah yang membuat kemudian utilitarianisme terbagi dalam dua kelompok besar, yakni utilitarianisme versi Bentham yang disebut tindakan utilitarianisme (act utilitarianism) dan utilitarianisme versi Mill yang disebut aturan utilitarianisme (rule utilitarianism). Meski demikian, keduanya sama-sama memaknai kebaikan sebagai kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang, perbedaannya hanya pada metode saja.

Setelah kita mendudukkan apa itu utilitarianisme, saatnya kita beranjak pada pertanyaan “Bagaimana secara moral gerakan antivaksin dipandang melalui tindakan utilitarianisme dan aturan utilitarianisme? Benar ataukah salah?”

Tinjauan Moral Utilitarianisme Terhadap Gerakan Antivaksin Covid-19

Dunia hingga kini masih dalam situasi krisis pandemi Covid-19, dan cara terbaik kita untuk keluar dari situasi krisis tersebut adalah dengan vaksinasi. Vaksinasi merupakan upaya penguatan imunitas atau kekebalan tubuh terhadap penyakit tertentu, sehingga apabila mayoritas orang dalam masyarakat telah kebal kepada Covid-19, selanjutnya akan membentuk kekebalan komunal yang menjadi perlindungan tidak langsung atas orang-orang yang rentan Covid-19 (mempunyai penyakit komorbid atau penyakit yang secara medis membuatnya tak boleh divaksin) dan akan mengakhiri pandemi.

Andaikan jika kita bertindak dengan menolak vaksinasi Covid-19 karena kita sudah percaya akan informasi yang berikan oleh gerakan antivaksin, kira-kira apa dampaknya pada diri sendiri dan pada masyarakat? Pada diri sendiri, kita akan menjadi rentan terinfeksi dan terkena penyakit akibat infeksi Covid-19, mulai sakit yang ringan hingga kematian, dan pada masyarakat, orang-orang di sekitar kita juga akan mengalami seperti yang kita alami, dan orang-orang di sekitar, orang-orang di sekitar kita akan turut mengalami seperti yang kita alami, dan seterusnya. Untuk mendeteksi dampak lanjutan dari bahaya Covid-19 pada kesehatan, mari kita berikan konteks yang lebih nyata.

Setelah mengetahui daya tular Covid-19 yang sangat kuat, banyak negara termasuk Indonesia menerapkan pembatasan mobilitas masyarakat untuk mengurangi interaksi manusia dalam jumlah banyak, di antaranya membatasi pembelajaran tatap muka, menetapkan batas waktu dan pengunjung di rumah makan atau restoran, dan segala aktivitas lain di ruang publik. Kita sudah melihat melalui berbagai penelitian bahwa efek pembatasan mobilitas masyarakat berujung pada tingkat kemiskinan yang makin tinggi, kekerasan pada perempuan dan anak meningkat, terjadi learning loss, banyak anak yang putus sekolah, tingkat stres memuncak, dan lain-lain. Konsekuensinya secara umum pada bidang kesehatan, ekonomi, pendidikan, dan sosial membuat ketidakbahagiaan pada masyarakat membesar, maka tindakan utilitarianisme menilai gerakan antivaksin Covid-19 salah secara moral dan justru mewajibkan kita vaksinasi.

Kita beralih ke bagaimana penilaian moral gerakan antivaksin Covid-19 dari kacamata aturan utilitarianisme. Menyelamatkan nyawa dan memelihara kesejahteraan manusia yang berlaku sebagai aturan moral dalam masyarakat, bila kita perhatikan akan tidak sesuai dengan gerakan antivaksin, karena sebagian besar dampak Covid-19 yang akan lahir dari sikap menolak vaksinasi melanggar aturan moral sebelumnya dan menghasilkan ketidakbahagiaan yang lebih besar pada masyarakat. Aturan utilitarianisme pun ikut menilai gerakan antivaksin Covid-19 salah secara moral dan mewajibkan kita vaksinasi. Akhirnya, baik tindakan utilitarianisme maupun aturan utilitarianisme setuju bahwa gerakan antivaksin Covid-19 sebagai gerakan yang salah secara moral dan mewajibkan kita agar vaksinasi.