, ,

Festival Saeyyang Pattuqduq, Hasrat yang Tumpah

Setelah pandemi covid-19 ‘membantai’ segala sendi aktifitas kita, Festival Saeyyang Pattuqduq seperti memecahkan kerinduan atau hasrat yang tertahan selama hampir 3 tahun ini.

Ribuan orang seperti air yang mengalir, mengular dari samping pacuan kuda, lalu bertumpu pada satu titik, di Stadion HS. Mengga atau sekarang lebih dikenal dengan Sport Center Polewali Mandar.

Aliran manusia memenuhi jalan di sekitar Alun-alun Polewali yang berhadapan langsung Kantor Bupati Kabupaten Polewali Mandar. Mereka seperti mengalami kelahiran yang baru, mereguk keramaian yang terasa begitu lama dikekang pagebluk.

Sebutlah sebuah kerinduan akan perhelatan even di daerah, dan ini adalah harapan bagi siapa saja yang kecipratan efek ekonominya dari sebuah perhelatan akbar.

Entah berapa banyak make up artist yang mendapatkan hasil, berapa banyak penyedia jasa kuda Pattuqduq yang terhidupi serta jasa Parrawana yang mendapatkan angin segar secara ekonomi dari perhelatan festival.

Bukan hanya itu, nuansa silaturahim kembali terkoneksi antara satu manusia dengan manusia yang lain. Berapa banyak penjaja makanan yang menerima rezeki saat perhelatan ini digelar. Durasinya cukup lama, katakanlah berkumpulnya orang-orang yang datang sebagai penyaksi sudah standby sejak pukul 12 siang, itu sudah masuk waktu makan siang.

Lebih khusus lagi para konten creator yang juga mengais rezeki dari tayangan videonya di akun media sosial seperti Youtube. Mereka menunduk, berlari atau menahan nafas sekedar untuk mandapatkan gambar yang diinginkan. Mereka juga membutuhkan konten untuk mendapatkan tayangan iklan lalu menjadi penambah pundi-pundinya, meskipun masih kadang terseok.

Ini realitas, banyak orang menerima manfaat baik secara ekonomi yang langsung maupun seperti content creator yang menunggu tayangan videonya ditonton publik. Tidak ketinggalan para kuli tinta dengan menulis berita mereka memenuhi tugas dan tanggung jawabnya sebagai pengabar informasi.

Tradisi ini adalah sebuah hal yang harus selalu dijaga dan dilestarikan, sebab ada saja orang-orang yang terhidupi. Karena bukan hanya pada festival ini Saiyyang Pattuqqduq berlaga, tradisi ini masih hidup dari kampung ke kampung di seantero Polewali Mandar ini khususnya.

Saya kira, kita tidak harus selalu melihatnya dari sudut pandang yang satu lalu mengabaikan efek yang lain.
Bukan hanya dilihat dari merahnya bibir para Pessawe yang harus dinilai, tapi bagaimana tradisi ini tetap lestari ataukah meskipun festival ini tidak digelar, tradisi ini tetap lestari.

Ya… memang Saeyyang Pattuqduq tetap dihelat di pelosok Polewali Mandar, namun potensi ini harus dikabarkan keluar, lalu kemudian mendapatkan pengakuan dari lembaga seperti UNESCO. Apakah harus? Tergantung kita melihatnya dari mana?
Saya kira kita patut bersyukur dengan datangnya pihak UNESCO untuk melihat langsung khazanah tradisi yang dimiliki Polewali Mandar, ini adalah salah satu portal membuka diri dari dunia luar.

Mungkin pembaca budiman akan menemukan berserakannya sampah, lalu kemudian memostingnya di media sosial. Apakah itu kontribusi?

Nantikan liputan kami di Festival Saeyyang Pattuqduq melalui narasi di mandarnesia.com atau kanal youtube mandarnesia. 24 Mei 2022 akan dihelat FGD sebagai rangkaian kegiatan tersebut di atas.

O, bolonge….

Wahyudi, Redaksi