MANDARNESIA.COM, Mamuju – Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Barat, Dr. Suyuti Marzuki, menyatakan pentingnya penerapan tujuh intervensi sosial sebagai langkah strategis untuk meminimalisir dampak negatif pertambangan dan pengerukan pasir laut terhadap masyarakat pesisir.
Hal ini disampaikan dalam rangka memperkuat komitmen pemerintah daerah dalam melindungi hak-hak masyarakat, lingkungan, dan ekonomi kelautan yang berkelanjutan.
“Pertambangan pasir laut tidak hanya berdampak pada ekosistem laut, tetapi juga mengancam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat pesisir. Melalui pendekatan intervensi sosial yang holistik, kami berupaya menciptakan solusi berkeadilan,” tegas Dr. Suyuti.
Bagaimana tujuh intervensi sosial ini dapat diterapkan? Berikut rincian tujuh intervensi sosial yang telah dan akan diimplementasikan DKP Sulbar bersama pemangku kepentingan terkait.
“Konseling dan pendampingan bagi nelayan yang kehilangan mata pencaharian dan pelatihan keterampilan alternatif seperti budidaya rumput laut, pariwisata bahari, dan pengolahan hasil laut serta edukasi hukum dan hak lingkungan masyarakat. Program bantuan UMKM dan koperasi pesisir untuk ketahanan ekonomi rumah tangga dan pembentukan kelompok nelayan terdampak untuk advokasi dan negosiasi,” urai Dr. Suyuti.
Lalu yang keempat, Intervensi Sosial Komunitas berupa pendirian forum warga/LSM lokal untuk perlindungan lingkungan laut dan kampanye komunitas dan partisipasi dalam penyusunan tata ruang pesisir.
“Intervensi sosial organisasi dalam bentuk kemitraan dengan perguruan tinggi, NGO, dan media untuk kajian dampak sosial-lingkungan serta pelibatan organisasi keagamaan/adat dalam sinergi dengan organisasi nelayan nasional untuk advokasi kebijakan,” terang alumni jurusan Fisheries Aquacukture atau Budidaya Perikanan Unhas 1994 ini.
Lulusan Ilmu dan Teknologi Kelautan University of Newcastle Inggris Timur Laut ini, menyebut intervensi secara sosial intitusional pun sangat diperlukan.
“Kita memerlukan audiensi dengan DPRD, dan kementerian terkait untuk revisi kebijakan pertambangan laut. Upaya hukum atau litigasi strategis terhadap proyek yang melanggar AMDAL, serta transparansi izin tambang melalui partisipasi publik,” jelasnya kepada media, Senin (12/5/2025).
Tamatan Program Doktor Universitas Indonesia tahun 1999 ini juga menekankan urgensi advokasi kebijakan nasional yang berpihak pada masyarakat pesisir dan adat.
“Demokratisasi pengelolaan sumber daya alam melalui otonomi daerah mesti beralas komitmen bersama untuk pembangunan berkelanjutan,” ujar
Dr. Suyuti menekankan bahwa ketujuh intervensi ini harus dijalankan sinergis dan berkelanjutan oleh seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat.
“Dengan kolaborasi ini, kami yakin dapat mengurangi ketimpangan sosial, memulihkan lingkungan, dan menciptakan ekonomi pesisir yang lebih tangguh,” ujarnya lagi. (*)