Di Ujung Gang

Dari Puisi “Jeritan Malam Jumat” Oleh Sengta

Cerpen oleh: Ulva Tia Saoja, Mahasiswa Unasman

Kemarin malam, aku bercerita pada mentari yang tidak pernah redup, dan bulan yang tak pernah takut. Kehidupan tidak pernah mengajarkanku apapun selain bekerja mencari uang agar tetap bisa hidup. Kehidupan kota Jakarta yang sangat padat dan seakan-akan tidak pernah tidur, membuat tenagaku benar-benar terkuras.

Aku Nana. Seorang pekerja seks komersial yang harus membiayai kehidupan adik-adikku di kampung yang masih bersekolah. Karena ayahku si bajingan itu, meninggalkanku Bersama dengan kedua adik dan ibuku yang sudah sakit-sakitan. Aku bekerja agar mereka bisa hidup dengan layak, walaupun aku tahu caranya salah. Namun, kehidupan memaksaku untuk melakukannya.

Aku baru saja pulang dari tempatku bekerja. Jam menunjukkan pukul 12.00. Sesampainya aku di kontrakan, aku langsung tidur, tak kupedulikan lagi bau menyengat tubuhku juga riasan yang masih menempel di wajahku. Perlahan, aku terlelap dalam tidurku. Di tengah lelapku, tiba-tiba terdengar suara berisik dari luar. Aku sontak terbangun. Dengan mengutuki orang-orang itu yang sudah mengganggu tidurku. Aku keluar, dan sepertinya sesuatu telah terjadi di ujung gang kontrakanku.

Dengan perasaan malas aku berjalan keluar. Dingin menusuk kulitku, dan gelap menyelimuti pandanganku. Sesaimpainya aku di ujung gang, aku merasa ada yang aneh. Tidak ada siapapun di sini. Hal tersebut membuat diriku yang tadinya masih setengah mengantuk, sontak terkaget dan langsung merasa segar seketika. Otakku berpikir keras untuk mencari tanda-tanda. Namun, nihil. Tak ada siapapun di ujung gang.

Beberapa kali aku memanggil-manggil untuk memastikan apakah benar-benar tidak ada orang, namun tak ada balasan. Aku berusaha untuk menenangkan pikiranku. Ah mungkin tadi aku mengigau karena kelelahan. Akhirnya ku memutuskan untuk kebali ke kontrakan.

Di tengah perjalanan, aku mendengar suara lagi. Kali ini berbeda. Dia menjerit di ujung gang. Telingaku menangkap gelombang jeritannya. “Aku di sini”, dengarku. Aku terheran-heran, namun masih berusaha menetralkan pikiranku. Instingku mengatakan, aku harus kembali. Suaranya sayup bergetar. Tapi anehnya, semakin kudengarkan dengan lekat semakin hilang pula suaranya ditelan malam yang pekat.

“Dia butuh bantuan” Hatiku menebak. Akhirnya aku kembali ke ujung gang untuk memastikan. Langkahku semakin cepat. Becek bekas hujan tadi sore pun sudah tidak kupedulikan. Aku sudah setengah berlari. Lalu, Huhhhhh.. Nafasku terengah, jantungku berdebar, kakiku bergetar dan pikiranku melayang ke antah berantah. “Kemana dia?” Tanyaku dalam hati. Nihil. Tidak ada seorangpun di sana. Masih sama, hanya jalanan sepi dan lampu sorot jalanan .

Hati dan otakku tidak lagi sejalan. Aku ingin kembali ke kontrakan. Tapi aku penasaran. Suaranya terasa begitu nyata. Aku masih berdiri di ujung gang dengan nafas yang terengah-engah. Aku jongkok. Masih mencari-cari tanda dimana sumber suara itu.

“Aku di sini”, sesuatu berbisik lembut di telingaku lagi. Sontak aku terkejut. Aku menengok ke segala arah. Berusaha mendapat sedikit celah. Tetap nihil. Aku tidak menemukan apapun. Aku sudah seperti orang gila yang hanya mencari sesuatu yang tak terlihat. “Apa yang aku cari” tanyaku sendiri dalam hati.

Aku sudah sangat lelah dan ketakutan. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kontrakan. Setengah perjalanan, aku merasa ada sesuatu yang berlari kencang kearahku dengan menjerit keras mengatakan ‘Aku disini’ berulang kali. Aku ingin berlari. Tapi tubuhku kaku. Aku tidak bisa pergi. aku diam mematung. Belum sempat aku menengok ke belakang, tiba-tiba, buuukk, kepalaku pusing, mataku berat, sekujur tubuhku terasa sangat lelah, aku berkedip beberapa kali, sampai akhirnya menyadari bahwa aku masih terbaring di kamar tidur. Jam menunjukkan pukul satu lewat delapan. Aku baru tidur selama satu jam. “Hanya mimpi, sialan”. Aku mengutuki diriku sendiri.

Namun, entah mengapa aku merasa sangat haus juga sangat lelah. Seakan-akan apa yang barusan aku mimpikan benar terjadi. Namun aku memilih untuk tidak memikirkannya. Aku ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Baru saja pintu kamar akan kubuka, tiba-tiba, debukk, sesuatu menghantam kepala bagian belakangku dengan sangat keras. Aku langsung tak sadarkan diri. Penglihatanku sangat buram. Aku mencoba berdiri namun tak bisa. Perlahan, aku mendengar sesuatu mendekati telingaku. Ia mengatakan “Aku di sini”.

Esoknya, jiwa seorang wanita ditemukan tewas. Dia adalah penghuni kontrakan di dalam gang. Kabarnya, ia dibunuh oleh harapan yang mengaku-ngaku bahwa ia ada di sini.