Demokrasi dan Pers dalam Genggaman Media Digital

Berdasarkan data dari e-marketer, belanja iklan digital pada tahun 2018 mencapai 43,5%. Sementara media bisnis Nielsen Indonesia menyebutkan pada tahun 2019 belanja iklan media digital naik sebesar 20% dari tahun 2018 dengan total belanja Rp. 189 triliun. Pada tahun 2020 tren belanja iklan media digital naik sebesar Rp. 229 triliun. Sepanjang tahun 2021 belanja iklan tumbuh 14% dari tahun sebelumnya. Total belanja iklan pada tahun tersebut mencapai Rp. 259 triliun. Sementara, belanja iklan semester 1 2022 sudah mencapai Rp. 135 triliun. Nilai ini meningkat 7% dari Rp 127 triliun pada semester 1 2021. 

Sebagai lembaga yang membuat penerbitan media massa secara berkala, tidak bisa tidak Pers juga terus harus beradaptasi dan bertransformasi dengan pasar agar tidak gulung tikar. Menembus pasar digital, beberapa media berusaha berebut perhatian khalayak. Bersaing dengan berbagai platform media sosial yang cukup digandrungi masyarakat dari berbagai jenjang usia. Masyarakat di era ini juga berganti peran sebagai citizen journalism (jurnalisme warga). Mereka bukan hanya menyerap berita namun juga mengabarkan dan menyebarkan berita secara spontan baik melalui tulisan, gambar maupun video. Tentu saja ini menjadi tantangan yang sangat berat bagi pers, sebagai produsen berita agar mampu bersaing dengan para jurnalisme warga. 

Untuk menarik perhatian khalayak tidak sedikit media massa digital meluncurkan berita dengan judul-judul yang menarik bahkan ekstrim. Yang terkadang mengandung hoax atau berita bohong. Seperti berita hoaks penganiayaan Ratna Sarumpaet yang awalnya pada tanggal 2 Oktober 2018 disebarkan melalui facebook. Lalu setelah itu ramai-ramai diberitakan berbagai media massa baik televisi, online, maupun media cetak. 

Pada perhelatan Pemilihan Umum (Pemilu) berita hoaks semakin merajalela. Dilansir dari kompas.com, kementerian Komunikasi dan Informatika menemukan 1.645 konten hoaks sejak bulan Agustus 2018 hingga 25 April 2019. Bahkan pada 30 September 2019 serangan hoaks meingkat tajam menjadi 3.356 hoaks. Selain itu 800.000 situs di Indonesia telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Berita hoaks ini tentu saja sangat meresahkan dan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat, termasuk terjadinya polarisasi di masyarakat akibat hoaks seperti pada pemilu 2019. Beredarnya isu bohong mengenai pasangan calon presiden dan wakil presiden membuat masyarakat terbelah hingga ke akar rumput. Sampai menimbukan bentrokan pisik dan psikis.

Disinilah peran pers dibutuhkan. Pada tanggal  5 Mei 1018 sebanyak 22 media massa di Indonesia, kelompok masyarakat dan Google berkolaborasi untuk melawan hoaks, dengan meluncurkan cekfakta.com. Selain melawan isu hoaks Pers ditantang untuk dapat memenuhi kebutuhan 212,35 juta pengguna internet (data internerwordstats pada Maret 2021). Bagaimana agar mereka tidak beralih ke situs palsu dan lebih melek terhadap informasi yang positif dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat.

Pers sebagai Pilar Keempat Demokrasi 

Dilansir dari Wikipedia, Pers adalah istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920, di populerkan untuk menyebut jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam istilah sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.  Menurut R Eep Saefulloh Fatah, Pers merupakan pilar kempat bagi demokrasi (the fourth estate of democracy) dan mempunyai peranan yang penting dalam membangun kepercayaan, kredibilitas, bahkan legitimasi pemerintah. Pers dalam hal ini memiliki fungsi sebagai alat kontrol sosial dalam kehidupan demokrasi. Pers diharapkan dapat melakukan cover both side (melihat sudut pandang berita dari dua sisi). Selain itu berfungsi sebagai gate keeper, menyaring setiap pemberitaan.

Dari hal tersebut pers memiliki tanggung jawab yang besar agar tidak masuk kedalam pusara konflik kepentingan. Bersikap netral dan tidak terjebak pada isu hoaks seperti kasus penganiayaan Ratna Sarumpaet. Sesuai pasal 3 dalam Undang-undang Pers yang berbunyi, “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.” Dari pasal tersebut dalam mencari pemberitaan pers harus menggali informasi dengan benar dan berimbang agar tidak terjerumus pada pemberitaan yang salah atau bohong.

Salah satu berita hoaks yang menyudutkan penyelenggara pemilu dan berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat pada delegitmasi hasil pemilu, diantaranya adalah berita hoaks tercoblosnya 7 kontainer surat suara di Tanjung Priok. Isu tersebut terbantahkan dengan terbukti bahwa berita tersebut palsu. Oknum yang menyebarkan berita tersebut juga telah tertangkap. Namun tetap saja jika berita bohong terus menerus dikonsumsi masyarakat, menurut Psikiater Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo (RSCM), dr. Gina  Anindyajati, Sp. Kj. ini akan menyebabkan masyarakat percaya dan meyakini hal tersebut sebagai kebenaran meskipun telah diklarifikasi.

Dalam hal ini Pers bertanggung jawab untuk memborbardir masyarakat dengan informasi yang benar, informatif dan mendidik. Informasi yang mendidik akan meningkatkan kualitas masyarakat dalam berbagai aspek. Namun demikian keamanan digital (digital safety) harus menjadi komitmen pemerintah. Bagaimana pemerintah tidak melakukan pembiaran pada menjamurnya situs-situs palsu dan melakukan proteksi pada media digital agar layak dikonsumsi oleh masyarakat. 

Diperingatan Hari Pers Nasional (HPN) ke-77 yang jatuh pada tanggal 9 Februari 2023 ini, merupakan momentum bagi Pers untuk membenahi diri. Peran Pers sebagai pilar ke empat demokrasi harus dikuatkan. Pers harus menjadi tuan dalam pesatnya arus media digital, mengawal demokrasi agar mampu menjadi intisari kehidupan masyarakat. Dalam upaya mewujudkan masyarakat yang cerdas, maju dan sejahtera. 

*Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Garut Divisi Sosialisasi dan SDM