Demokrasi dan Pers dalam Genggaman Media Digital

Oleh: Nuni Nurbayani*

Masih lekat dalam ingatan bagaimana gesekan sosial terjadi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Gesekan ini bergeser menjadi keretakan dan keterbelahan sosial. Istilah pendukung calon Presiden, cebong, kampret, kardun, buzzerRp yang menjadi trending topik saat itu menjadi bukti nyata keterbelahan sosial ini ada.

Menurut katadata.co.id, terhitung sejak Juli 2015 hingga April 2019, lebih dari 14 juta cuitan menyebutkan istilah tersebut. Adu cuit di dunia maya ini berimbas ke dunia nyata. Kekerasan fisik terjadi, salah satunya di Sampang, Madura. Akibat cek cok dukung mendukung calon presiden di facebook, Subaidi ditembak Idris pada 23 November 2018.

We are social sebuah lembaga riset dari Inggris menyebutkan pengguna media sosial pada Januari 2019 mencapai 150 juta. Pada tahun tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informasi mencatat sejak Agustus 2018 hingga 30 September 2019 terdapat 3.356 serangan hoaks yang ditemukan di berbagai platform media sosial. 

Meningkat tajam dari tahun 2019, baru saja menapaki tahun politik jelang Pemilu serentak 2024, ribuan hoaks sudah menyerang media sosial. Dilansir dari Liputan6.com (11/1/2023) Menteri Komunikasi dan Informatika, Johnny G. Plate mengungkapkan, kementeriannya telah menangani 1. 321 konten hoaks dengan kasus politik di media sosial hingga rabu, 4 Januari 2023. Catatan We are social, pada Januari 2023 ini, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia menembus angka 167 juta. Sementara jumlah pengguna internet menyentuh angka 212 juta. 

Pers dan Demokrasi 

Peran Pers sebagai pilar keempat demokrasi mendapat tempatnya pada era reformasi. Pemerintah yang dipimpin Presiden B. J Habibie mengeluarkan kebijakan melalui Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers.  Undang-undang yang disahkan pada 23 September 1999 ini mengandung 10 bab dan 21 pasal. Di dalamnya melegitimasi kebebasan Pers yang ditegaskan dalam pasal 2 yang berbunyi, “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.”

Pengekangan yang terjadi pada rezim Orde Baru mulai terurai dengan undang-undang ini. Dalam undang-undang Pers pada pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa kemerdekaan  terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Dilanjut pada ayat tiga pasal tersebut dijelaskan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Tidak cukup disini, pemerintah juga mencabut sejumlah peraturan yang dianggap mengekang kebebasan pers. Diantaranya, Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) Nomor 1 tahun 1984 tentang Ketentuan-ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), Permenpen Nomor 2 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Wartawan, Surat Keputusan Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang Pengukuhan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Pekerja Surat Kabar sebagai satu-satunya organisasi wartawan dan organisasi Penerbitan Pers Indonesia.

Sejumlah kebijakan pemerintah tersebut menjadi angin segar untuk pertumbuhan kebebasan Pers Nasional, meskipun sejumlah persoalan dikemudian hari juga turut menyertai. Apalagi ditengah arus deras menjamurnya media baru dalam platform digital yang juga dikenal dengan istilah reformasi digital sejak tahun 1980an. Keberadaan Pers mendapatkan tantangan baru tidak hanya menguatkan eksistensi kelembagaan namun juga menguatkan idealisme agar tidak menggadaikan perannya sebagai pilar keempat demokrasi hanya demi eksistensi.

Eksistensi Pers dalam Turbulensi Media Digital

Dilansir dalam laman telkomsel.com media digital didefinisikan sebagai format konten yang dapat diakses oleh perangkat-perangkat digital. Media digital ini bisa berupa website, media sosial, gambar dan video digital, audio digital dan lain-lain. Perkembangan media digital begitu pesat. Lebih dari 60% pemasang iklan memburu media digital dari pada media tradisional. Hal ini memastikan bahwa media tradisional  banyak ditinggalkan masyarakat beralih kepada media digital.