Cerita dari Pantry Laskar Pelangi

Foto: Adi Arwan Alimin

Oleh: Adi Arwan Alimin

“Aku paling senang sama Singa Rumah Tangga itu bang,” sebut mas Al, pelaut berusia 40 tahun yang sedang menjaga kafetaria.

Kami mengobrol panjang di pantry Laskar Pelangi ditemani rekannya Risky (22), anak buah kapal paling muda di feri jurusan Mamuju-Balikpapan ini.

Kapal penyeberangan antar selat ini sedang diayun gelombang satu hingga satu setengah meter saat kami berbincang panjang, Rabu pagi.

“Dia mewakili kami hahaha,” ujar Al atau Natalis lelaki asal NTT, dia menyebut sekampung komika Abdurasyid.

Tempat paling akrab dalam pelayaran seperti ini memang kafetaria atau pantry, di sini kita dapat bertemu siapa saja dan berkenalan dengan orang-orang baru.

Di sini saya juga bertemu Nawir (37) seorang kapten takeboat. Laki-laki ini asal Bonde, Campalagian yang sedang cuti. Tetangga paman saya di Bonde ini pun antusias menimpali percakapan kami.

Saya betah duduk di pantry karena menyelia potensi mabuk laut bila terus berbaring atau tidur di ruang supir bersama rombongan residensi. Beberapa kawan seperjalanan telah oleng sejak sauh feri diangkat Selasa (10/9) malam.

Perjalanan residensi ke Ibu Kota Nusantara (IKN) bersama tim Paskibraka Mamuju 2024 ini, seperti mengulang berjibun kenangan 1992-1998. Tempo itu masa bujang mondar-mandir ke Balikpapan.

Di pantry harga satu gelas teh atau kopi rentengan atau sachet Rp6000. Merek seperti Good Day 8000 per gelas 120 ml. Pop Mie dipatok Rp15.000, roti Hoka Rp5000.

“Harga darat,” canda mas Al atau Risky sesekali pada penumpang.

Beberapa saya melihat mereka juga memberi gratis pada pembeli lansia.

“Saya senang bang bila ada yang menemani ngobrol di pantry ini. Kami jadi tahu dan mengenal tipikal banyak orang,” imbuh mas Al yang kerap berlibur ke Tubo.

Pantry memang spot paling ramai bagi penumpang. Posisi duduk di bangku kafenya juga seperti meredam goyangan ombak.

Duduk sini sejak bakda Subuh telah meneguk segelas teh manis dan Pop Mie, dua jam kemudian saya menikmati lagi dua bungkus Hoka dan satu cup kopi.

Hingga jam 10.30 daratan Sulawesi belum terlihat. Jam-jam begini jumlah penumpang yang mengerubuti pantry makin ramai. Ratusan orang seperti siuman dalam alunan gelombang sejak berangkat dari Balikpapan.

Saya menikmati cerita para pelaut ini. Risky, Nawir dan Al. Mereka generasi pelaut dari Banyuwangi Jawa Timur, Mandar, dan NTT.

“Kalau di takeboat pak itu sepi sekali, kita biasa membawa tongkang delapan hari padahal itu masih antar pesisir Kalimantan. Kami paling senang kalau sudah dapat signal hape. Ada alat komunikasi tapi radio antar kapal saja,” tawa Nawir alumni PIP Makassar ini.

Walau lebih banyak bekerja dalam rasa sepi karena merasa di tengah lautan sendiri, namun cuan buat kapten takeboat itu amat tebal.

“Bisa dapat Rp20 juta pak sekali jalan,” ujar Nawir, yang sering dicandai Al sepanjang obrolan kami.

“Urusan pelaut bang,” kata Al yang sangat suka bercanda pada siapapun yang merapat ke pantryna.

“Kalau saya bang paling muda di kapal ini,” imbuh Risky anak muda yang pernah bekerja di pelabuhan Ketapang.

Menjelang Dzuhur orang-orang makin ramai. Datang dan pergi, memesan pop mie atau seduh minuman sachet.

“Kopi bubuk hanya disiapin untuk awak kapal bang,” sebut Risky.

Laut dalam dan legam Selat Makassar masih mendadar perjalanan ini. Feri Laskar Pelangi makin sering berpapasan jauh tanker yang melintas dalam segala cerita tengah lautnya.

Mamuju sebentar lagi sampai. Jam 11.00 siang punggung Sulawesi Barat sudah lamat-lamat tampak. Menyembul samar bikin tak sabar. []