MANDARNESIA.COM, Tinambung — Budayawan Mandar Tammalele tak habis pikir saat mendengar kabar pembajakan buku novel epos Daeng Rioso: Prahara Bumi Balanipa oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Barat.
“Bila seseorang tak mampu menggunakan otaknya atau akalnya untuk berpikir apa yang baik atau buruk, dia masih memiliki hati untuk dapat membedakan mana yang benar atau salah. Pembajakan buku itu merupakan bentuk pelecehan pada karya kekayaan intelektual,” sebut Tammalele, Kamis (11/7/2024).
Budayawan senior ini menyebut memiliki histori dan kedekatan emosional dalam proses riset penulisan novel berlatar sejarah Mandar pasca Perang Makassar.
“Saya beberapa kali membersamai penulis melakukan perjalanan ke beberapa tempat, termasuk berdiskusi bersama narasumber yang Adi Arwan Alimin temui. Saya pun menjadi teman diskusi yang intens saat dia menulis buku ini,” tambahnya sangat menyesalkan tindakan institusi negara ini.
Menurut Tammalele, pihak Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sulawesi Barat harus mengambil tanggung secara moral dan institusional, sebab seharusnya tidak melakukan tindakan yang sangat memalukan bagi Pemprov Sulbar.
“Coba kita pikirkan bersama, apakah mereka tidak tahu tentang persoalan hak cipta atau kekayaan intelektual sementara mereka yang membidangi kepustakaan dan perbukuan di daerah ini?” Dia mengaku sangat geram pada persoalan pembajakan buku Daeng Rioso.
“Pj Gubernur Sulbar saat ini kita harap memberi atensi sebab pembajakan menyangkut masa depan perbukuan dan proses kreatif generasi muda Sulawesi Barat. Bagaimana kita mengukur tanggung jawab instansi pemerintah dalam tupoksi perpustakaan dan kearsipan, jika mereka sendiri yang mencuri hak cipta orang lain,” desak figur yang dikenal sebagai Aqba Lele.
Tammalele pun menyebut, Dr. Bachtiar Baharuddin sebagai intelektual dari Kemendagri wajib memberikan perhatian serius pada masalah yang menampar wajah Pemprov Sulbar secara tidak langsung.
“Kini orang-orang menaruh amarah dan kerisauan sangat besar, sebab mereka mengatakan buku sekelas novel epos Daeng Rioso saja mereka berani bajak, apalagi buku-buku lainnya. Apakah mereka tidak memahami arti istilah pembajakan karya intelektual,” ketus tokoh literasi Sulawesi Barat ini. (wm)