Budaya Mengaji

Oleh: Burhanuddin Hamal (PAIF KUA Kecamatan Tinambung Polewali Mandar)

Di kalangan masyarakat Muslim, antusiasitas membaca hingga mengkhatamkan Al-Qur’an pada skala-skala waktu tertentu merupakan rangkaian amaliah positif. Di tataran keimanan, fenomena agamis tersebut sejalan dengan keyakinan betapa Tuhan menjanjikan kemuliaan bagi mereka yang akrab membaca Al-Qur’an.

Hanya saja, jika budaya membaca Ayat-Ayat Tuhan terfokus pada yang Qur’aniyah (tertulis) saja tanpa mengimbanginya dengan upaya penghayatan terkait dimensi Kauniyah (semua yang terfakta) maka budaya mengaji berkemungkinan akan mengalami keterbatasan efektifitas.

Fenomena yang pertama boleh jadi domainnya bermain di seputar kepentingan mengurus pahala pribadi atau perbaikan hubungan berskala vertikal semata. Padahal, mengaji Kauniyah juga tak kalah pentingnya dilakukan lewat cara melatih hati dan penghayatan serta membuka pikiran didalam “membaca” fakta demi fakta kehidupan yang akumulasinya bahkan meliputi kenyataan diri manusia sendiri (QS. Ali Imran: 190-191).

Antara ayat-ayat Qur’aniyah dan Kauniyah tidak hanya sejalan dan berfungsi saling menguatkan, tetapi ending-nya juga diharapkan melahirkan kesalehan personal yang selanjutnya berefek positif pada kenyataan sosial.

Membaca realitas alam (makrokosmos) dalam hubungannya dengan keberadaan diri manusia (mikrokosmos) adalah sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, kajian tentang serba-serbi permasalahan hidup dan solusinya mengajarkan keobyektifan berpikir serta kebijaksanaan bersikap. Hal ini berlaku baik dalam posisi manusia sebagai mahluk sosial terlebih dalam kapasitasnya selaku khalifah Tuhan di muka bumi (legitimasi muatan QS.Al-Baqarah: 30).

Tentu saja kemudian, refleksi horisontalnya diharapkan mewujud pada taqwa-taqwa sosial atau ketaatan beresensi natural.

Karena itu, ketika cara mengaji Qur’aniyah dan Kauniyah tersinergikan dalam kehidupan setiap Muslim maka prinsip “hablun minallah wa hablun minannas” akan menjadi tatanan kehidupan bermuatan kemaslahatan bersama (individualitas yang bermanfaat secara sosial).

Bukankah pijakan mendasar dari penjabaran keislaman ada pada muatan QS. Ali Imran: 112 dan QS. Al-Anbiya’: 107…???

Ushini waiyyakum bitaqwallah, Wallahu a’lam bisshawab.