Oleh Haidir Fitra Siagian
SETELAH menempuh penerbangan satu jam lebih, kurang sedikit pukul tiga sore, pesawat komersial yang membawa saya dengan dosenku dari UKM Malaysia, mendarat dengan selamat di Bandara Jalaluddin Gorontalo. Di bandara yang cukup luas ini, hanya tampak satu pesawat yang stand by. Walaupun demikian, sinar matahari yang tak terlalu terik, seakan menyambut kami dengan mesra lagi gembira.
Seorang sahabat saya dulu di Universitas Hasanuddin, Bang Yamin, yang kebetulan bertemu di mushalah Bandara SHIA Maros dan satu pesawat ke sini, menuntun kami keluar dari bandara. Dosenku sempat ambil gambar dengan latar baliho Gubernur Gorontalo dan nyonyanya. Tidak lama kemudian, Dekan Fakultas Ushuluddin dan Dakwah IAIN Sultan Amai, Dr. Mashadi, selaku “tuan tanah” datang menjemput kami sambil mengulum senyum di bibir.
Jadilah ini semacam reuni yang tertunda. Kami bertiga pada zamannya adalah aktif dalam kegiatan kemahasiswaan di Makassar. Berbagai kegiatan dan kasus menyertai sejarah kami. Itu dulu.
Sekarang keduanya berkiprah dan mengadu nasib di provinsi yang kaya dengan jagung ini sejak 16 tahun lalu. Satu dari Enrekang, satu dari Bulukumba. Satu alumni IAIN Alauddin, satu alumni Unhas. Tidak ada perjuangan yang sia-sia. Dengan ketekunan dan dedikasi yang tinggi, saat ini keduanya sudah masuk dalam orang penting di provinsi yang dulunya bersatu dengan Provinsi Sulawesi Utara.
Sepanjang jalan saya menikmati pemandangan dan kehidupan yang sangat bersahaja. Jarak dari bandara ke kota sekitar 33 km. Menyusuri jalan raya yang lengang dan pemalu. Tiada satu pun kemacetan yang berarti. Tiada hiruk-pikuk dan hingar-bingar kehidupan sepanjang jalan. Semua berjalan mulus dan terkendali. Sesekali memang pak sopir harus membunyikan klakson jika di depan ada kendaraan yang tidak sebagaima mestinya. Ini membuat saya sedikit malu kepada dosenku.
Sambil bercengkrama dengan sang tuan tanah, saya perhatikan kejadian dan suasana di sepanjang jalan dari mobil Innova berplat merah ini. Ini adalah pertama kalinya saya ke sini. Walaupun sesungguhnya banyak teman ketika masih kuliah berasal dari sini. Diantaranya adalah Simin Palangi dan Ustadz Darwin Botutihe, yang sekarang sedang melanjutkan sekolahnya di Kota Pelajar Yogyakarta. Ada juga bendaharaku di sini, alumni Fakultas Kedokteran Unhas, Agustinawati Kaharu juga Salha Domili, alumni MIPA Unhas.
Tidak banyak perbedaan mendasar antara daerah yang kulalui di Indonesia dengan apa yang saya dapati di sini. Kiri-kanan terdapat rumah-rumah penduduk dengan berbagai tipe, jenis, dan warnanya. Beberapa kali juga melintasi areal persawahan yang tidak terlalu luas. Juga kebun-kebun rakyat di lereng-lereng bukit. Di seberang jauh kelihatan rombongan sapi bersama dengan anak-anak yang pegang kayu di sampingnya sambil berlari-lari kecil.
Mendekati kota, sudah tampak Danau Limboto yang katanya sudah semakin mendangkal. Dulunya kedalaman bisa mencapai empat puluh meter sekarang sebagian besar hanya sepuluh meter saja. Memasuki kota tampak di sebelah kiri Universitas Muhammadiyah Gorontalo dan Rumah Sakit Sitti Khadijah. Kiri-kanan sepanjang jalan tampak pula jejeran masjid dan beberapa rumah ibadah lainnya.
Satu hal yang tidak kalah meriahnya adalah demam Piala Dunia. Di sepanjang jalan tampak beberapa warung yang menjajakan bendera-bendera negara peserta Piala Dunia yang sedang berlangsung di Russia.
Bendera dengan ukuran kecil dipajang dengan sengaja sambil menunggu pembeli. Di beberapa tempat juga kelihatan bendera negara Prancis dan Brasil. Yang tidak kalah menariknya adalah bendera Jerman yang begitu mencolok.
Walaupun timnas Jerman sudah tersingkir, tetapi benderanya belum turun. Bahkan ada satu bendera tiga warna itu; merah, kuning, hitam; dengan ukuran besar berkibar di atas pohon mangga. Tinggi, melampaui ketinggian pohon dan rumah di sekitarnya. Inilah kita, rakyat Indonesia. Kegembiraan tanpa batas. Mantap. ***
Gorontalo, Ahad 01 07 18
Hotel Amaris, jelang magrib.