Silahkan ditafsirkan namun harus dengan dasar yuridis yang pasti, sehingga tidak akan menjadi pelanggaran terhadap UU, yang akibat hukumnya adalah terhadap produk-produk kebijakan yang dihasilkan. Bisa saja menjadi produk hukum, yang batal demi hukum dan memenuhi kualifikasi maladministrasi.
Ketiga, ketika bupati menganggap dirinya sebagai pengambil alih/Plt/Plh Direktur RSUD dengan dasar “Surat Pernyataan Pengambil Alihan Tanggung Jawab” sebagaimana diungkapkan oleh Kepala BKPP Polman di media online pattae.com tanggal 24 Juli 2020, maka hal tersebut berarti merujuk pada UUAP yang mewajibkan Bupati harus memiliki mandat dengan dasar :
A. Ditugaskan oleh badan dan/atau pemerintahan di atasnya, dan ;
B. Merupakan pelaksana tugas rutin.
Dan diatur lebih khusus di dalam SE BKN Nomor 2/SE/VII/2019 tentang Kewenangan Plh dan Plt dalam Aspek Kepegawaian, Poin 3 ayat 1 (a) bahwa badan dan/atau pejabat pemerintahan memperoleh mandat apabila ;
1. Ditugaskan oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan di atasnya, dan
2. Merupakan pelaksana tugas rutin.
Pertanyaannya, siapa lagi badan atau pejabat pemerintahan yang berada di atas bupati di daerah ketika dia akan mengambil alih/plh/plt RSUD? Ketika itu ada, apa dasar hukumnya? Apakah beliau menugaskan dirinya sendiri atau seperti apa?
Inilah hal-hal penting yang harus diuraikan secara yuridis formil, sehingga pengambil alihan/Plt/Plh Direktur RSUD itu dilakukan secara benar berdasarkan UU dan peraturan lainnya yang terkait.
Karena apabila hal tersebut tidak diperhatikan dengan baik, maka bisa saja berdampak pada persoalan lain yang lebih fatal akibat hukumnya. Salah satunya akan mengganggu stabilitas jalannya pemerintahan daerah yang cenderung tidak didasarkan pada UU dan peraturan lainnya serta penyelenggaraan pemerintahan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.