Oleh : Muhammad Yusuf J
Saya bertugas, SDN 66 Sibunoang, Majene. Di sekolah ini, sejumlah siswa menunjukkan keunikan keterampilan yang di luar dugaan saya. Di antara mereka ada yang berbakat menari, memainkan alat musik rebana, hingga memiliki keterampilan memasak.
Hal ini cukup mengejutkan, mengingat usia mereka masih tergolong dini. Bahkan, siswa kelas VI yang rata-rata berusia sekitar 12 tahun telah mampu menunjukkan kecakapan tersebut. Pada kesempatan lain, seorang siswa perempuan dari kelas IV pun melakukan hal serupa.
Suatu ketika, di sela-sela proses pembelajaran, para siswa berkumpul di perpustakaan yang juga difungsikan sebagai dapur sekolah. Secara kebetulan, saya berada di tempat tersebut bersama seorang guru lain bernama Zulkipli. Kami bercengkerama dan mencoba mengajak bernalar melalui obrolan ringan yang kemudian menyinggung aktivitas mereka di rumah.
Saya pun bertanya, “Siapa di antara kalian yang sudah bisa memasak?”
Seorang siswa bernama Lisna dengan penuh percaya diri mengangkat tangan dan menjawab, “Saya, Pak.” Tanpa diminta, ia langsung menceritakan pengalamannya di rumah.
Ia mengaku sudah terbiasa memasak nasi dan mengolah ikan khas masakan Mandar, yakni Bau Peapi. Ketika saya menanyakan bahan-bahan yang digunakan, Lisna dengan tenang menjelaskan bahwa masakan tersebut menggunakan bawang Mandar, garam, kunyit, lada, dan asam mangga.
Di tengah perbincangan tersebut, hal menarik lainnya terjadi. Seorang siswa bernama Islamiah tiba-tiba menyuguhkan dua cangkir kopi kepada kami. Rupanya, tanpa banyak bicara, Islamiah menunjukkan kebiasaan dan keterampilan yang ia peroleh dari lingkungan keluarganya.
Pengalaman serupa kembali terulang pada kesempatan lain. Sekelompok siswa kelas VI, yang berjumlah sekitar enam orang, menghampiri saya untuk mengajak berbincang. Mengingat kebiasaan saya di sekolah yang senang mendengarkan cerita siswa, terlebih yang berkaitan keseharian mereka di rumah, saya pun antusias menyambut mereka.
“Menurut kalian, enaknya kita memasak apa, Nak?” Beragam jawaban pun muncul. Ada yang mengusulkan membuat bakwan, sementara yang lain menyarankan kue dadar. Akhirnya, saya menawarkan untuk memilih menu sederhana dengan bahan yang mudah didapat. Saya pun memberikan uang sebesar Rp5.000 untuk membeli tepung.
Tak lama berselang, kue dadar telah matang dan disajikan di atas meja saya. Dalam hati, saya membenarkan keyakinan bahwa mereka benar-benar mampu melakukannya. Kami pun kembali merencanakan untuk membuat bakwan keesokan harinya, dan dengan penuh semangat para siswa menyatakan kesiapan mereka menyediakan bahan secara sukarela.
Dari rangkaian peristiwa tersebut, ada hal yang sangat menggugah perasaan saya. Anak-anak yang masih berada pada usia dini ternyata mampu melakukan hal-hal yang melampaui dugaan saya.
Tentu saja, kecakapan tersebut tidak terlepas dari peran lingkungan keluarga yang telah membiasakan mereka sejak dini. Sebagai seorang guru, saya kemudian merefleksikan bahwa dalam kehidupan nyata, keterampilan dan pengetahuan merupakan dua hal yang saling melengkapi.
Keterampilan hidup akan mengantarkan seseorang untuk mampu menghadapi tantangan kehidupan, sementara pengetahuan akademik sering kali berhenti pada tataran teori. Dengan memiliki kedua kompetensi tersebut secara seimbang, seseorang akan lebih siap menjalani kehidupan yang bahagia di masa depan.
Dalam konteks ini pula, saya teringat pada peringatan Hari Guru Nasional. Tidak sedikit siswa yang memberikan penghargaan kepada gurunya dalam bentuk kado, buket, atau hadiah kejutan. Terlepas dari aturan tentang gratifikasi, menurut saya hal tersebut merupakan sesuatu yang positif karena mencerminkan kemampuan siswa dalam mengelola rasa dan menghargai gurunya. Bagi saya, itu hanyalah bentuk penghargaan simbolik.
Namun, ada makna penghargaan lain yang kerap terlupakan, yaitu penghargaan yang bersifat esensial. Jika menengok ke masa lalu, para siswa menunjukkan penghargaan kepada gurunya melalui bantuan sederhana, seperti mengangkut air, menggembala kambing, atau membantu pekerjaan gurunya dengan tulus.
Hingga kini, masih banyak kita jumpai siswa yang secara sukarela dan ikhlas melakukan hal-hal sederhana untuk gurunya, tanpa terikat momen tertentu seperti Hari Guru.
Ironisnya, pada Hari Guru Nasional saat ini, yang lebih sering kita jumpai justru adalah dokumentasi penyerahan kado dan buket bunga yang diabadikan melalui ponsel.
Mengapa siswa yang menyuguhkan secangkir kopi kepada gurunya dengan penuh adab, norma, dan keikhlasan justru luput dari sorotan kamera? Padahal, di dalam tindakan sederhana tersebut terkandung nilai-nilai luhur yang tidak kalah bermakna dibandingkan hiasan buket yang indah.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa guru memiliki tanggung jawab untuk memberikan pembelajaran yang tidak hanya berfokus pada teori pengetahuan, tetapi juga menyediakan ruang bagi siswa untuk mengasah keterampilan hidupnya.
Melalui keterampilan itulah siswa belajar membiasakan diri memecahkan masalah, yang pada akhirnya akan menghadirkan pembelajaran yang benar-benar bermakna.(*)








