,

19 Tahun Sulbar: Wawancara Imajiner Bersama Husni Djamaluddin

Husni Djamaluddin salah satu Founding Father Sulawesi Barat
Husni Djamaluddin salah satu Founding Father Sulawesi Barat

Oleh Adi Arwan Alimin

KEMERDEKAAN yang Aku Rindukan. Kalimat di atas adalah judul puisi yang ditulis Husni Djamaluddin salah satu founding father Sulawesi Barat. Karya yang ditulis di Jakarta, 17 Agustus 1994 itu rasanya relevan dengan ide yang hendak penulis lansir untuk ikut memeriahkan ulang tahun Sulbar tahun ini.

Sepanjang dua hari, tanggal 19-20 September kemarin saya diundang dalam penjurian Lomba Baca Puisi tingkat SMA dalam rangka HUT Sulbar ke-19 Tahun. Saya mencermati 67 video berdurasi tiga menit sampai sembilan menit lebih.

Puisi wajibnya “Kemerdekaan yang Aku Rindukan” karya Husni Djamaluddin, ada tarik Jakarta, 17 Agustus 1994 saat karya ini dibuat. Kami bertiga sebagai juri, ada Dr. Yuyun Yundini Husni Djamaluddin, dan Imelda. Tiga hari meja rapat yang bongsor di ruang Kadiknas Sulbar itu tempat kami samuh.

Saya menyimak kiriman lebih dari 70 video dari anak-anak SMA, dari Tabulahan hingga Sarjo. Mendengar berulang-ulang puisi ini, saya seolah-olah duduk menyimak saat puisi ini ditulis founding father Sulbar itu.

Saya belum menghapalnya persis, tapi sudah amat memahaminya. Apalagi ketika Dr. Yuyun putri beliau ‘memparafrase’ sejenak esensi yang ingin direbut karya ini, Rabu petang kemarin. Pengayaan Dr. Yuyun amat memperkaya bagaimana esensi puisi yang ditulis sang ayah.

Imaji saya sebagai penulis menumbuhkan pertanyaan yang merambat. Puisi ini seperti perkataan sekaligus yang begitu relevan dengan hari jadi Sulawesi Barat sebentar lagi, 22 September tahun ini. Tentang kemerdekaan Tanah Mandar agar rakyatnya mencapai kesejahteraan sesuai cita-cita perjuangan.
***
17 tahun lalu saya melakukan wawancara Imajiner bersama almarhum Husni Djamaluddin, bahan utamanya makalah yang rahimahullah sampaikan saat seminar di Makassar tahun 2002.

Bahan tulisan itu diberikan Drs. Farid Wadji di kantor Harian Radar Sulbar, Jalan Jenderal Soedirman Mamuju. Wawancara imajiner itu dimuat di HL 1 Radar. Kali ini, jadilah puisi yang ditulis lima tahun sebelum Sulbar dideklarailan di Galung Lombok, Tinambung tahun 1999 sebagai percakapan kami.

Berulang kali mewancarai beliau secara langsung di masa perjuangan Sulbar. Kira-kira begini alur wawancara imajinatifnya.

“Apa yang hendak disampaikan melalui puisi lawas ini?”

Kemerdekaan yang Aku rindukan bukanlah Kemerdekaan untuk menutup pintu-pintu rumah kehidupan orang lain. Bukanlah kemerdekaan untuk membungkam mulut orang lain, yang suara dan pendapatnya berbeda.

“Tapi kemerdekaan kerap dimaknai sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya atas segala hal, realitasnya begitu. Bagaimana anda memandang itu?”

Bukan begitu. Kemerdekaan yang Aku rindukan tidak pernah dimaksudkan untuk mempermalukan orang lain. Walaupun orang itu mungkin sedang lupa saat ia berkuasa. Atau bahkan bila dia sedang teler karena menenggak terlalu banyak narkotika kekuasan.

“Atau, jangan-jangan kemerdekaan yang anda maksud adalah kemerdekaan yang bukan-bukan?”

Tunggu dulu. Bukan itu, bukan kemerdekaan yang begitu itu yang aku rindukan. Bukan kemerdekaan yang tak boleh begini dan begitu.

“Lalu. Manakah yang makhluk yang anda sebut bernama kemerdekaan itu. Mengapa terlalu banyak menggunakan kata bukan?”

Ingat ya. Bahaya terbesar dari kemerdekaan itu kalau kemerdekaan sudah bukan lagi kemerdekaan yang mampu menyadarkan manusia. Kemerdekaan yang Aku rindukan itu kemerdekaan yang memuliakan manusia. Agar di mana saja, di mana saja dapat hidup layak, sejahtera dan terhormat.

“Apa yang ingin anda simpulkan?”

Kemerdekaan manusia di luar dan di dalam diri kita. Hal paling utama, jangan pernah mengambil apapun bila bukan hakmu.

***
Ketika puisi ini dibuat 1994, ada jeda lima tahun dari titik nol Sulbar Galung Lombok saat perjuangan pembentukan Provinsi Sulbar dideklarasikan 10 November 1999. Walau pun pikiran tokoh Husni Djamaluddin, dan kolega pentingnya lainnya tentu terus diendapi percakapan menua mengenai Provinsi Mandar yang telah dibincang sejak tahun 1960-an.

“Apa pesan sekali lagi buat Sulawesi Barat yang Anda beri julukan sebagai provinsi Malaqbiq?”

Kita ini Orang Mandar. Perhatikan, bahwa ada tiga hal utama yang menopang itu dalam sudut pandang sosial-budaya, ini mengenai Pau, Gau anna Kedzo yang harus selaras antara kata, sikap dan perbuatan kita. Bila ada yang keluar dari rel itu, dia jauh dari hakikat kemandaran.

“Apalagi?”

(Husni menatap dalam sambil merapikan kaca matanya. Matanya seolah menuang bilur kesedihan)

Orang Mandar itu tidak tegaan. Walaupun dia seringkali amat tegas. Tetapi mereka sangat arif, bijaksana. Kalau mereka pun kehabisan rasa cinta, dia memiliki kasih sayang yang tak akan pernah habis.

“Bagaimana mencontohkannya?”

Kita selalu dapat belajar dari narasi dan perbuatan Lopa dalam kehidupan. (*)