JAKARTA-DPR dan Pemerintah akhirnya menyepakati Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemilu menjadi UU. Dini hari Jumat (21/7) lalu, DPR dan Pemerintah mendapatkan kesepakatan bersama, untuk menyetujui UU Pemilu.
Pengambilan keputusan akhir UU Pemilu diwarnai oleh aksi walkout oleh empat fraksi partai politik, yakni Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Fraksi Partai Demokrat.
Satu isu penting yang menjadi penyebab mewarnai aksi walkout dari empat fraksi partai politik tersebut adalah, perdebatan apakah ambang batas pencalonan presiden masih relevan untuk diterapkan di dalam penyelenggaraan Pemilu 2019 atau tidak. Mayoritas partai politik pendukung pemerintah (PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, dan Hanuara) menjadi jumlah dominan dengan menyetujui ambang batas pencalonan presiden tetap diberlakukan di pemilu serentak 2019. Sementara empat partai lainnya (Gerindra, PKS, PAN, dan Demokrat) keberatan dan menolak ambang batas pencalonan presiden diterapkan dalam Pemilu 2019.
Ketidaksepahaman itu, yang akhirnya membuat seluruh anggota fraksi dari Gerindra, PAN, PKS, PAN, dan Demorkat keluar dari ruang sidang sesaat proses pemungutan suara terhadap pilihan dua paket lima isu krusial UU Pemilu (Ambang batas pencalonan presiden, parliamentary threshold, besaran daerah pemilihan, sistem pemilu legislatif, dan metode konversi suara menjadi kursi). Akhirnya, UU Pemilu disepakati secara aklamasi oleh seluruh anggota fraksi partai politik yang masih ada dalam ruang sidang paripurna (PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, dan Hanura).
Dikutip dari perludem.org, terhadap UU Pemilu yang baru disahkan, kami menyatakan beberapa catatan sebagai berikut, pertama UU Pemilu yang baru disahkan tidak memberikan perbaikan terhadap bangunan sistem politik dan dasar hukum penyelenggaraan pemilu ke depan. Perdebatan panjang hanya berkisar kepada kepentingan jangka pendek partai politik saja.
Perdebatan lima isu krusial (Ambang batas pencalonan presiden, parliamentary threshold, besaran daerah pemilihan, sistem pemilu legislatif, dan metode konversi suara menjadi kursi), sulit untuk dibantah, jika hal tersebut adalah kepentingan jangka pendek untuk Pemilu 2019; Apalagi, isu ambang batas pencalonan presiden, yang dalam batas penalaran yang wajar, sangat terang bertentangan dengan Pasal 6 A Ayat (2) UUD 1945;
Kedua, dalam UU Pemilu yang baru saja disahkan, tidak sama sekali menyentuh dan memperbaiki bagian peningkatan intergritas penyelenggaraan pemilu. Salah satunya adalah, jumlah minimal sumbangan dari perseorangan dan koorporasi dalam kampanye meningkat dua kali, sementara tidak diikuti dengan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan;
Ketiga, UU Pemilu yang baru saja disahkan mencabut kewenangan KPU dalam membentuk daerah pemilihan DPRD Provinsi dan lagi-lagi daerah pemilihan DPR RI masih menjadi lampiran dalam Undang-Undang. Padahal sejatinya pembentukan daerah pemilihan menjadi kewenangan KPU dalam rangka menciptakan equal playing battle field akan tetapi Undang-Undang Pemilu mengatur prinsip serta tata cara pembentukan daerah pemilihan;
Keempat, UU Pemilu yang baru saja disahkan belum disertai dengan lampiran UU yang memuat daerah pemilihan DPR, DPRD Provinsi, dan penyesuain jumlah penyelenggara pemilu;
Kelima, UU Pemilu yang baru saja disahkan memberikan tawaran baru formula penghitungan konversi suara menjadi kursi dengan model sainte lague yang mengedepankan proposionalitas;
Keenam, UU Pemilu yang baru disahkan mengamanatkan kepada penyelenggara pemilu untuk memulai tahapan pemilu 20 bulan sebelum hari pemungutan suara (Pasal 167 ayat (3)). 20 bulan sebelum pemilu artinya adalah bulan Agustus 2017 (hal ini berdasarkan kesepakatan pembahasan RUU Pemilu yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pemilu 2019 adalah pada bulan April 2019). Melihat jadwal ini hampir dipastikan penyelenggara pemilu tidak akan dapat memenuhi waktu tersebut karena undang-undang ini tidak dapat langsung digunakan karena masih menunggu proses penomoran, dan masih terdapat sejumlah hal yang belum tuntas seperti lampiran undang-undang yang belum siap.