Terkait Adat Timbogading : Munir dan Opy Muis Mandra Bersuara

MAJENE, mandarnesia.com-Rencana pengukuhan Adat Timbogading Desa Betteng, Kecamatan Pamboang, Kabupaten Majene mendapat tanggapan dari Pemerhati Budaya.

Muhammad Munir  menyebutkan, dalam struktur Adat Adolang, Timbogading adalah wilayah adat Pappuangan Adolang. Yaitu Pappuangang Timbogading dimana jabatannya adalah Panglima Perang.

“Kok tiba-tiba panglima perang berubah jadi Mara’dia dan mengangkat lagi panglima perang. Ini mesti disosialisasikan dan dimusyawarahkan dengan baik. Bersama tokoh adat Adolang,” tutur Munir, melalui via telepon, Rabu (10/7/2019).

Sehingga rencana pengukuhan Adat Timbogading, sambung Munir, baru pertama kalinya jika akan dilakukan.

“Ini persoalan baru, saya pikir pak bupati harus belajar banyak dari sejarah. Kalau misalnya Harun Hadaming, posisinya Pappuangang Timbogading berarti dia dilantik sebagai panglima perang, bukan sebagai mara’dia atau raja Timbogading,” terangnya.

“Tetapi kenapa tiba-tiba mau naik status menjadi mara’dia dan menobatkan Fahmi Massiara sebagai panglima perang. Pappuangan  Timbogading itu posisinya adalah Mara’dia Malolo .  Pappungang Timbogading. Tidak boleh mengangkat lagi, Mara’dia Timbogadng,  mengangkat panglima perang. Terlebih yang dinobatkan adalah Bupati. Fahmi Massiara itu adalah putra pa’bicara Banggae. Masa mau mau saja diangkat sebagai panglima perang. Atau  jangan-jangan pemahamannya, Mara’dia Malolo itu adalah Mara’dia paling ganteng,” sambung Munir.

Baca juga:http://mandarnesia.com/2019/07/tokoh-adat-adolang-tolak-pengukuhan-adat-timbogading/

Kalau misalnya mereka berpedoman pada Undang-undang Desa, lalu kenapa dia memakai Mara’dia Timbogading.

“Bisa kan adat saja. Karena Undang-undang Desa itu mengacu ke desa adat. Kalau misalnya Kerajaan Timbogading, sejak tahun 1963 itu ada undang-undang, sudah dihapus  pemerintahan kerajaan. Jadi kalau menggunakan Undang-undang desa saya pikir dia menggunakan tafsir  asas tunggal,” katanya.

Munir menuturkan, dalam struktur Adat Adolang, pertama Pappuangan Adolang sebagai Ketua adat. Kedua, Puang Kali sebagai pemimpin keagamaan. Ketiga Sarung Kayyang Papposi Banua sebagai pembesar negeri. Keempat Sarung Kaiyyang Oroang  di Ratte sebagai kehakiman. Kelima, Sarung Kaiyyang di Ulu, Balombong/Pambawa Allo sebagai membantu menyebar informasi/keputusan bersama yang di putuskan oleh perangkat adat.

Keenam, Pamboseang lita’ di rawang sebagai bagian pertanahan. Ketujuh, Tomatua di Pesapoang sebagai pemungut retribusi bagian utara. Kedelapan Pappuangan Timbogading sebagai panglima perang. Kesembilan Tomabubeng sebagai komandan perang. Kesepuluh Sariang sebagai keamanan adat.

Kesebelas, Topangale sebagai penjaga batas yang tinggal di gunung atau di perbatasan. Keduabelas So’bo sebagai pertanian. Ketiga belas Para sebagai humas/penyampai informasi ketika akan ada acara adat. Keempat belas Paya’ Kayyang sebagai bagian perlengkapan pada saat upacara adat. Kelimabelas Kaya Paya’ di Limboro sebagai memungut retribusi untuk bagian selatan. Keenam belas Sando Adat bagian mengurusi alat-alat perang ketujuh belas Bakkel untuk mengurusi perkawinan. Kedelapan belas Tomangayi, mengurusi pendidikan, dan kesembilan belaa Ana’ Pattola sebagai generasi penerus adat

Sementara, Pemerhati Budaya Opy Muis Mandra berpendapat, kalau memang Kelembagaan  Amara’diangang  Timbogading Pernah ada dan ingin diangkat kembali, itu hal positif.

“Cuma pertanyaannya lagi apakah yang diprotes ini dari teman-teman Pappuangang Adolang. Diprotes karena membuat kelembagaan baru. Diprotes karena dilantik bukan dari keturunan itu. Atau sekali dua-duanya,” ungkapnya.

Reporter: Busriadi Bustamin