Oleh : Sahabuddin Mahganna
Meski hanya sebagai fasilitator, para pelaku budaya selalu diperhadapkan pada situasi rumit.
Pernyataan itu kemudian menjadi titik fokus pada forum diskusi di kantor baru, oleh kepala UPTD baru to malaqbiqta (Puang Cino) bersama belasan seniman Polewali Mandar. Geliat Taman Budaya provinsi Sulawesi Barat sangat mampu disebarluaskan jika ruang geraknya tercium di Nasional.
Spiritual ke-Mandar-an menjadi pembahasan utama, mencoba untuk melakukan refleksi kembalinya masa kejayaan yang sudah dilewati para inisiator pendirinya. Meski cara pandangnya bukan hal yang baru, tetapi pertemuan kali ini menjadi sangat penting untuk menemukan kekurangan dan kelebihan selama wadah ini berdiri di Tana Malaqbiq Mandar.
Taman Budaya tentu sesuatu yang mungkin bisa menjadi pendorongnya, sebab peranannya se-Indonesia yang secara nasional, telah diakui sebagai pangkal tolak dari proses kegiatan kebudayaan.
Dalam konteks pendidikan, seniman dan budayawan sepertinya menjumpai tugas berat, untuk kemudian total memberikan sumbangsi pemikiran pada kebangkitan cita-cita14 titik otonomi dalam menguatkan pondasi yang disusun sejak dulu.
Perlu kembali menerapkan Metode burung hantu atau Dewi Minerva sebagai simbol Ilmu pengetahuan yang kala itu diperkenalkan oleh tokoh filsuf Hegel.
Secara intensif dengan sorotan mata tajamnya dan jernih menangkap objek dari jauh, dalam hal ini kita mampu menganalisis filosofis dengan mengungkapkan hakikat, struktur, dan unsur-unsur kegiatan dasar.
Burung hantu dapat memutar kepalanya sejauh 140 derajat secara ekstensif, itu berarti kita bisa mengadakan komunikasi dan dialog para tokoh masyarakat, seniman dan budayawan dari bidang ilmu masing-masing, yakni membahas berbagai langkah perbandingan metodologis secara umum dan spesifik dari setiap disiplin yang bersangkutan.
Komprehensif, karena telitinya menangkap sasaran yang cepat, tepat dan dengan depak daya terbangnya, kendati suasana gelap gulita. Pada prinsip ini, kita dapat mengadakan tilikan rasional kritis yang kadang tampak bertentangan (paradoksal) dari keragaman tersebut. Dibalik itu akan terungkap betapa kayanya warisan budaya yang kita terima dari titipan leluhur sejarah masa lalu. Dan dari situasi itu, kemungkinan besar bentuk-bentuk ini berguna, mampu menyirami rasa haus masyarakat sebagai pembekalan intelektual ke Mandar-an.
Tata teknisnya nanti akan ditemukan bersama, bahwa merumuskan kemungkinan bentuk-bentuk perubahan mental sebagai terobosan dari pola hidup tradisional yang statis ke pola hidup yang dinamis dan kreatif, atau menyongsong segala tantangan hari depan melalui berbagai bentuk inovasi, perwujudannya tentu dan mesti melalui langkah-langkah kebudayaan yang efektif dan efisien, baik itu secara Individual maupun massal kemasyarakatan.
Melakukannya ditempat dan waktu atau konten apa saja, sebab sedianya kebudayaan bukan hanya urusannya sendiri oleh panggung semata, namun melibatkan semua lini dan benar-benar dengan fikiran yang jernih.
Lingkaran kajian kritis perlu ditingkatkan, bertugas untuk mengembangkan pemikiran dan metode kritis mengenai masalah-masalah yang terjadi dalam masyarakat, sebagai masukan yang bermakna serta pokok-pokok gagasan perubahan mental strategis di Sulaweai Barat.
Tawaran ini sebagai prinsip yang mampu memberikan serta menumbuhkan daya dukung keberhasilan di masa depan, yang memungkinkan untuk menjadi penyanggah keprihatinan pada kondisi kehidupan Mandar.
Sejarah masa suramnya semoga tidak terulang lagi, penting didalami bersama. Kita sudah disuguhi oleh upaya penguasaan wilayah dari orang-orang yang nyaris merobohkan pertahanan Identitas, karena memahami bahwa benih-benih Minyak, Gas Bumi, Energi Listrik, Batu bara, Mineral, Emas dan lain-lain ada disini.
Sebentar lagi akan muncul satu per satu, berharap dari sini struktur dan praktek lembaga politik mampu memberikan kontribusi maksimal, sehingga dapat memenuhi dan paling tidak menghindari amburadul dan buruknya atau lebih tepat disebut krisis multidimensional.
Krisis ini difokuskan pada prasarana, transportasi, kemiskinan, kesenjangan sosial, pengangguran, pembodohan, malapraktik, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, kriminalitas dan sebagainya, dan ini saya yakin bahwa keinginan dan tujuan perjanjian pitu ulu salu dan pitu babana binanga termaktub dalam isinya.
Pada hakikatnya krisis ini adalah krisis budaya, dan perekatnya juga adalah budaya, sebab hakikatnya terjadi pada pengelolaan kondisi budaya sebagai keseluruhan sistem. Berarti akan menjamin dan memberikan pengaruh untuk menentukan perbaikan kondisi.
Penawaran gagasan malam itu dengan secangkir Kopi dan Saraqba, melengkapi data yang nantinya menjadi sebuah kebutuhan bagi setiap warga, para ahli gelisa dari seniman dan budayawan sepertinya menginginkan untuk membuat kebudayaan Mandar sebagai garda terdepan Indonesia, meramu pikiran kritisnya terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, praktik dominasi kuasa ataupun terhadap bentuk penindasan publik diberbagai bidang dan sektor kehidupan beserta kepentingan ideologis yang tersembunyi.
Mandar Spritual menjadi salah satu metode untuk membongkar secara tuntas sampai pada akar rumputnya, untuk kemudian menciptakan masyarakat rasional reflektif, yang tentu sangat diharapkankan tumbuh manusia kritis terhadap sosiologi, ekonomi, manajemen, pedagogi, pendidikan, hukum, psikologi, antropologi, kedokteran, ilmu sejarah, susastra, dan linguistik, yang tentu tidak bicara pada satu titik wilayah saja.
Pada konteks Geografi, wilayah Mandar dengan luas 16.796,19 km² dengan panjang bentangan pantai 580 km². Lalu sebelum Sulawesi Barat Berdiri ditinjau demografi penduduknya 870.193 jiwa, ketika itu tahun 2000, mengalami pertumbuhan jumlah jiwa dan itu relatif tinggi sehingga mencapai 901.171 jiwa, tentu sekarang ini relatif akan lebih dan lebih meningkat.
Sementara SDA dan potensi ekonomi, yang kala itu provinsi tetangga berencana untuk merancang Mandar dan Luwu (Mandalu) sebagai masa depan cerah bagi hasil sektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan pertambangan. Dari itu mungkin Sulawesi Selatan sepertinya akan sakit keras jika berpisah dengan anaknya.
Areal pegunungan Mandar cukup memadai, dikenal sebagai potensi kehutanan yang baik. Tidak kurang 12 Hak Penguasaan Hutan (HPH) Menurut data lama, telah beroperasi di Mamuju. Memang sangat luas dengan potensi kayu yang sangat tinggi, dapat diolah baik itu ekonomi maupun wisata. Hutan terbatas seluas 321.345 ha, hutan produksi biasa seluas 59.850 ha, hutan konversi seluas 69.226 ha, hutan lindung seluas 799.786 ha, dan hutan suaka alam seluas 975 ha.
Menurut statistik 1999 menunjukkan hasil produksi kayu sebesar 335 milyar, belum termasuk nilai hasil rotan, damar, dan hasil hutan lainnya seperti hasil perkebunan, Kakao, Kelapa, Kelapa Sawit, tanaman kopi, atau komoditi lain yang sesungguhnya telah terjamah dan yang akan datang, adalah karet, kemiri, cengkeh, lada, jambu mente, pala, sagu, kapuk, dan belum lagi hasil laut.
Selanjutnya sumber daya alam di pertambangan. Saat ini, tambang galian C ikut mewarnai pendapatan asli daerah. Potensi tambang dapat ditemukan di beberapa tempat yakni Tinambung ( gas, timah, dan mika), Riso (mika), Aralle (mika), Tandung (Tembaga), Mamasa (Besi), Limbong Kalua (besi), Mambi Sungai Massupu (emas), Tabulahan (timah), Kalumpang Sungai Karama (emas, mika, timah), Pasangkayu (intan dan minyak), Ulu Karema (besi baja), Mamuju (mika merah putih), Kalumpang Gunung Paramita (batu bara), Batuope (intan), Lariang (emas, intan, dan minyak tanah), Tantos (emas), Budong-budong (perak, mika dan tembaga), Tappalang (granit).
Kita bisa berfikir bagaimana setelah itu atau sekarang, dan atau pula yang akan datang apakah tidak berkurang ? Ini belum terlambat.
Keprihatinan yang sangat serius ini mengandung kegelisahan, rasa cemas, dan harapan dalam hati kecil, betapa ini termasuk penentuan sikap dan pengambilan keputusan tekad yang tegas untuk mencoba menyikapi atau penemuan kembali identitas Mandar agar tidak tenggelam dalam arus gelombang industrialisasi modern dan global, setidaknya ini adalah cara seniman dan budayawan menjemput kehadiran Taman Budaya dan Kantor Baru.