Oleh: Safardy Bora
DALAM helai-helai halus Lipa Sa`be Mandar—sarung sutera Mandar—tertenun tidak hanya benang, tetapi sejarah, harga diri, dan peradaban. Kain tradisional yang berasal dari dataran Mandar ini bukan sekadar hasil olah tangan para perempuan kampung yang setia menjaga wasiat leluhur, melainkan juga lambang keagungan budaya yang menyatu dalam semangat nasionalisme, ketahanan sosial, serta narasi perjuangan lintas generasi.
Lipa Sa`be bukan sekadar kain; ia adalah narasi kolektif masyarakat Mandar tentang keanggunan, keberanian, dan keteguhan hati. Pada masa lalu, Puang Depu, seorang perempuan bangsawan dari Tinambung, menjadikan sarung sutera Mandar sebagai simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Hari ini, makna simbolik itu hidup di tanah Borneo, namun dalam wajah baru: perjuangan di medan pembangunan, pengabdian di jalur politik, dan dedikasi dalam pemerintahan yang adil.
Tiga tokoh Kalimantan Timur dari keluarga besar Bani Mas’ud:
Dr. Ir. H. Hasanuddin Mas’ud, S.Hut., M.E,
Dr. H. Rahmad Mas’ud, S.E., M.E,
dan Dr. H. Rudy Mas’ud, S.E., M.E,
adalah representasi kontemporer dari semangat yang dahulu terpatri dalam kain Lipa Sa`be: ketekunan dalam pengabdian, keberanian mengambil risiko, dan komitmen untuk membela kepentingan rakyat, dengan tetap berpijak pada nilai-nilai budaya dan agama.
Hasanuddin Mas’ud: Entrepreneur Visioner dalam Arus Legislasi
Dr. Ir. H. Hasanuddin Mas’ud adalah seorang entrepreneur visioner yang menanamkan akar usahanya di bidang minyak dan perkapalan, properti, dan agribisnis di Kalimantan Timur. Jiwa wirausahanya lahir dari kedalaman tradisi Mandar—berani, jujur, dan ulet. Dari medan usaha inilah ia tumbuh menjadi tokoh masyarakat yang tangguh dan dipercaya memimpin DPRD Kalimantan Timur sebagai ketuanya.
Sebagai entrepreneur, ia tak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga mengusung prinsip keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan. Kepemimpinannya di lembaga legislatif membawa semangat dunia usaha ke dalam kebijakan publik: efisiensi, inovasi, dan keberpihakan pada ekonomi kerakyatan. Dalam dirinya, teranyam benang Mandar yang menyatukan keberanian tradisi dan strategi modern.
Rahmad Mas’ud: Menenun Kota Balikpapan dengan Gagasan Besar
Dr. H. Rahmad Mas’ud, selain pengusaha minyak dan perkapalan ia juga seorang Wali Kota Balikpapan, ia telah menjadi simbol kepemimpinan generasi baru yang memadukan akar budaya dengan manajemen kota modern. Dalam periode kepemimpinannya, Balikpapan tidak hanya tumbuh sebagai kota industri energi, tetapi juga menjadi kota yang ramah lingkungan, inklusif, dan sarat penghormatan terhadap kearifan lokal.
Rahmad Mas’ud meyakini bahwa kota bukan sekadar tumpukan beton, melainkan ruang hidup yang harus ditenun dengan rasa keadilan sosial dan keindahan budaya. Baginya, sutera Mandar bukan hanya warisan, tetapi juga filosofi: kuat, lentur, dan menyejukkan.
Rudy Mas’ud: Dari Parlemen ke Kursi Gubernur Kalimantan Timur
Dr. H. Rudy Mas’ud menapaki jalan politiknya sebagai Anggota DPR RI Komisi VII, tempat ia memperjuangkan aspirasi Kalimantan Timur dalam bidang energi, teknologi, dan pembangunan strategis. Di Senayan, ia dikenal sebagai legislator muda dengan suara tegas dan pendekatan solutif.
Namun langkahnya tidak berhenti di parlemen. Dengan dukungan kuat dari masyarakat lintas etnis, jaringan kultural, serta basis akar rumput, Rudy Mas’ud kemudian terpilih secara demokratis sebagai Gubernur Kalimantan Timur. Kemenangannya bukan hanya kemenangan politik, tetapi juga peristiwa budaya—karena untuk pertama kalinya, nilai-nilai Mandar kembali hadir secara nyata dalam kursi eksekutif tertinggi provinsi.
Sebagai Gubernur, Rudy mengusung misi besar: menjadikan Kalimantan Timur tidak hanya sebagai gerbang Ibu Kota Negara, tetapi juga sebagai episentrum pertumbuhan hijau, inklusif, dan berbasis komunitas. Ia menenun strategi pembangunan yang berpihak pada rakyat, dan memadukan daya budaya dengan ketangguhan birokrasi.
Dari Sarung ke Strategi: Makna Budaya yang Terus Bergerak
Apa yang diwariskan oleh Lipa Sa`be hari ini bukan hanya kain, melainkan etos kerja, keberanian memimpin, dan keteguhan moral. Tiga tokoh ini—Hasanuddin, Rahmad, dan Rudy—adalah bukti nyata bahwa warisan budaya bukanlah benda mati. Ia hidup dalam keputusan-keputusan penting, dalam keberpihakan kepada rakyat, dan dalam jejak langkah pembangunan.
Dalam konteks Kalimantan Timur, di mana geopolitik, demografi, dan ekologinya berubah begitu cepat, ketiga tokoh ini telah menjadi penjaga harmoni antara masa lalu dan masa depan. Mereka menenun ulang identitas daerah dalam bingkai nasionalisme yang beradab, santun, dan modern.
Penutup: Sutera yang Tak Pernah Kusut
Sama seperti sutera Mandar yang lembut namun kuat, peran para pemimpin muda Bani Mas’ud di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur budaya bisa menjadi fondasi kepemimpinan modern. Dalam simpul-simpul strategis pembangunan daerah, mereka hadir bukan sekadar sebagai entrepreneur atau politisi, tetapi sebagai penjaga marwah: pemimpin yang menghidupkan kembali nilai-nilai lokal untuk menjawab tantangan global.
Sebagaimana Puang Depu mempertahankan tanah Mandar dengan lipa sa`be-nya, para pemimpin ini pun berdiri tegak membela tanah Kalimantan Timur, bukan dengan senjata, tetapi dengan gagasan, keberanian, dan keteladanan.
Salam budaya dan penghormatan kepada tanah leluhur.