Lipa’ Sa’be: Warisan Sutera Mandar yang Sarat Makna dan Sejarah

Oleh: Sherly, Mahasiswa Unasman

Suku Mandar merupakan salah satu etnis utama di Sulawesi Barat. Sebelum pemekaran wilayah, Mandar bersama Bugis, Makassar, dan Toraja hidup berdampingan dalam keberagaman etnis Sulawesi Selatan. Kini, meskipun telah terpisah secara administratif, Mandar tetap terikat secara historis dan kultural dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Selatan.

Secara historis, istilah “Mandar” adalah kesatuan antara tujuh kerajaan pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan pegunungan (Pitu Ulunna Salu), yang dipersatukan melalui sebuah perjanjian leluhur di Allemungan Batu, Luyo. Ikatan ini disebut Sipamandar, yang berarti saling menguatkan sebagai satu bangsa.

Tenunan Sutera Mandar: Lipa’ Sa’be

Ciri khas dari Mandar yaitu sarung sutra (Lipa’ Sa’be). Menenun sudah menjadi tradisi di Mandar dan sudah diturunkan dari generasi ke generasi. Perempuan menjadikan tenunannya sebagai mata pencaharian karena harga jual tenunan yang tinggi. Bahkan di beberapa tempat di kota Majene masih melestarikan tenunan.

Ada berbagai jenis Sure’ Lipa’ Sa’be  (Motif Sarung Sutera) di Mandar. Zaman dulu Lipa’ Sa’be   hanya digunakan oleh para Mara’dia (Raja) atau hanya digunakan oleh orang terpandang atau bisa dibilang dipakai oleh orang-orang yang mempunyai jabatan atau punya uang banyak.

Untuk pembuatan Lipa’ Sa’be sendiri memakan waktu paling sebentar satu minggu, dan tenunan yang paling lama yaitu 15 hari. Tapi lamanya proses pembuatan sarung sutera Mandar ini bergantung dengan motif yang dipesan.

Motif, Warna, dan Makna

Pada abad 16-17 tenun sudah dikenal di Daerah Mandar, dulu tenunan tidak memakai genggang (Benang Mengkilat), genggang dipakai dalam sarung ketika orang-orang China datang membawa genggang tersebut. Inilah alasan terjadinya corak pengembangan karena penambahan benang berkilau (genggang) ke dalam tenunan. Sekarang sudah banyak Sure’ pengembangan di Mandar. Lipa’ Sa’be dipasarkan melalui perahu-perahu yang menyebrangi pulau.

Lipa’ Sa’be  ini tidak jauh dari baju Boko (untuk umur yang sudah 20 ke atas) dan baju Pokko (untuk para gadis). Untuk istilah baju Boko, jika ada seseorang yang menggunakan baju Boko berwarna hijau berarti dia sudah menjadi seorang janda. Jika baju boko yang digunakan berwarna merah terang berarti dia masih seorang gadis yang berumur 17-21 tahun. Jika berwarna merah agak tua berarti umurnya 21 tahun keatas.

“Sampai saat ini masih belum diketahui secara pasti mengenai pencetus pertama dari Lipa’ Sa’be ” Sebut Suriawan.

Ketidaktahuan ini karena kurangnya orang yang bisa dijadikan narasumber dalam hal sarung sutera Mandar (Lipa’ Sa’be ).

Suriawan (52), pemandu Museum Mandar di Majene menybeut bahwa yang pertama kali menggunakan sarung Sutera Mandar ini yaitu Raja pertama Mandar di Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu karena tidak ada yang lebih pantas menggunakan Lipa’ Sa’be pertama kali kecuali para Raja (Mara’dia). Hanya saja beliau tidak bisa menyebutkan siapa nama dari Raja yang pertama kali memakai Lipa’ Sa’be.

Semua Sure’ Lipa’ Sa’be  ini berbentuk Horizontal dan Vertikal. Motif tersebut tidak dibuat dengan sembarangan. Motif vertikal dan horizontal dibuat dengan makna suatu hubungan. Motif yang mengarah ke atas (Vertikal) ini menyangkut dengan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Sedang motif garis mendatar (Horizontal) mengarah pada hubungan antara manusia dengan manusia.

Ragam Motif dan Filosofinya

Menurut Suriawan bahwa ada banyak jenis Sure’ Lipa’ Sa’be diantaranya: Sure’ Sinemangang, adalah sarung sutera pertama yang ada di Mandar.

Sure’ Mar’dia. Adalah corak sarung sutera Mandar yang digunakan oleh para Raja (Mara’dia) pada acara-acara resmi pelantikan Adat.

Di zaman dulu Sure’ Mara’dia tidak bisa digunakan oleh keturunan Raja, yang bisa memakai Sure’ Mara’dia ini jika orang tersebut dilantik menjadi seorang Raja. Tapi sekarang Sure’ jenis ini sudah mulai bisa digunakan oleh para keturunan Mara’dia.

Sure’ Padhadha, adalah corak sarung Mandar yang dipakai oleh kaum Bangsawan adat Perempuan (Puang Tobaine) pada acara resmi pelantikan adat dan pernikahan.

Sure’ Padhadha tidak hanya bisa digunakan oleh para Bangsawan Perempuan tapi perempuan masyarakat biasa juga bisa memakai Sure’ Padhadha ini. Yang membedakan antara bangsawan dan masyarakat biasa yaitu corak warna pakaiannya. Jika bangsawan menggunakan pakaian bercorak gelap maka masyarakat biasa harus menggunakan corak yang berbeda yaitu berwarna terang.

Lipa' Sa'be di Museum Mandar, Majene Foto: Sherly
Lipa’ Sa’be di Museum Mandar, Majene Foto: Sherly

Jika yang menggunakan Sure’ ini seorang laki-laki dari era Kerajaan di Sendana. Laki-laki yang bisa menggunakan Sure’ Padhadha berarti ia merupakan seseorang utusan Raja (Jaka Tallu’). Utusan Raja yang mengurus permasalahan Raja. Sure’ Padhadha digunakan oleh seseorang yang mempunyai kepintaran, keberanian dan berjiwa satria.

Sure’ Gattung Layar, Adalah corak sarung Mandar yang dipakai oleh nahkoda para pelaut yang mempunyai keberanian berlayar mengarungi lautan dan ketangkasan memegang kemudi. Warna dasar lebih banyak hitam dipadu dengan putih dan coklat.

Sure’ Beru’-Beru’, Adalah corak sarung sutera Mandar yang digunakan oleh para keluarga Bangsawan (Pappuangang Towaine) pada acara resmi dan pelantikan adat.

Sure’ Salaka. Adalah corak sarung sutera Mandar dengan corak yang berwarna hitam ditambakan dengan warna putih. Sure’ ini biasanya digunakan oleh Permaisuri Raja / Mara’dia Towaine. Adapun yang disebut Sure’ Salaka Ditole’I, Sure’ ini digunakan khusus untuk para Pemangku Adat (Pappuangang Towaine).

Sure’ Pangulu, Adalah corak sarung sutera Mandar yang digunakan Pappuangang Tommuane pada acara resmi dan pelantintikan adat. Warna dasar coklat bercampur ungu dan hitam kotak-kotak kecil.

Sure’ Pangulu ini hanya boleh digunakan oleh seorang pemimpim (Ada’ Pappuangang) atau seorang Pa’bicara. Sure’ ini juga digunakan oleh seorang panglima perang.

Sure’ Pangulu Padang, Adalah corak sarung sutera Mandar yang pernah digunakan oleh I Manyambungi pada saat berkunjung ke Padang.

Sure’ ini ada ketika si mayambungi datang Padang Pariangan yang dimintai untuk tinggal di Padang Pariangan akan tetapi I Mayambungi menolak karena mempunyai hak dan wewenang serta tanggungan di Daerah Mandar, Balanipa yang pada akhirnya Sure’ Pangulu Padang ini menjadi cinderamata/tanda mata. Dan orang-orang padangpun mengakui Sure’ Pangulu Padang ini punya masyarakat Mandar. Sure’ ini pun menjadi tanda bahwa si manyambungi pernah menjadi panglima perang di Padang.

Sure’ Ringgi’, Adalah corak sarung sutera Mandar yang digunakan oleh para keluarga Bangsawan (Mara’dia dan Pappuangan) pada acara resmi dan pelantikan adat. Sure’ ini berdasarkan dari medali (Ringgi’) yang sering digunakan orang-orang kaya.

Sure’ Saripa Niraba’i, Adalah corak sarung sutera Mandar yang digunakan oleh Permainsuri Raja (Bainena Mara’dia) pada acara-acara resmi dan pelantikan adat. Sure’ ini juga bisa dikatakan Sure’ dzibunga yang berarti di dalamnya mempunyai kembang.

Sure’ Niraba’i ini termasuk kedalam corak pengembangan. Misalnya satu Lipa’ Sure’ saripa dikasih kembang maka ini akan dinamakan Sure’ saripa niraba’i. Sekarang pun ada yang memakai Sure’ Padzadza yang dikasih bunga sehingga Sure’ itu dinamakan Sure’ Padzadza Maringga Niraba’i atau diistilahkan Bunga Sake’. Bahkan sekarang ada yang dinamakan corak sarung sutera Bunga Sake’.

Sure’ Bolong, Adalah corak sarung sutera Mandar yang khusus hanya digunakan untuk menutup orang yang sudah meninggal. Dengan warna corak hitam.

Sure’ Penja/ Ranni’-Ranni’, Adalah corak sarung sutera Mandar yang digunakan oleh masyarakat umum.

Sutera Mandar ini di Zaman dulu yang hanya menggunakannya bergantung dengan strata baik dalam masyarakat maupun dalam stara ekonomi.