Sulbar Sebagai Provinsi Penyangga Ibukota Baru
Oleh: Lalu Tuhiryadi
(Guru SMKN 1 Mamuju)
Dengan ditetapkannya penajam sebagai ibu kota baru, maka semua daerah yang secara geografis berdekatan dengan calon ibukota seharusnya sejak dini mempersiapkan diri sebaagai penyangga ibukota baru.
Baik dalam menopang berbabagi kebutuhan pembangunan ibukota maupun dalam menopang keberlangsungan ibukota, yang sudah barang tentu memerlukan berbagai suplay kebutuhan, mulai dari kebutuhan pembangunan infrastruktur, kebutuhan pangan, sumber daya manusia dan sebagainya.
Jauh sebelum penetapan penajam sebagai ibukota baru, Sulbar dan Kalimantan telah memiliki hubungan dagang, dimana Sulbar merupakan daerah pensuplai hasil-hasil pertanian yang menjadi kebutuhan konsumsi pulau Kalimantan. Diantaranya buah pisang, kelapa, sayur-sayuran dan berbagai hasil pertaian lainnya dan hasil tangkapan laut.
Begitu juga sebaliknya Kalimantan juga selain menjadi konsumen hasil hasil pertanian juga menjadi daerah yang menyerap tenaga kerja di sektor tambang dan sektor perkebunan kelapa sawit.
Oleh karena itu, secara potensi Sulbar memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah untuk mensuplai berbagai kebutuhan pangan ibukota baru terutama untuk sektor pertanian dan perikanan. Namun setelah Penajam ditetapkan sebagai ibukota baru tentu kebutuhan suplay pangan ibukota baru akan meningkat drastis, plus berbagai kebutuhan lain di sektor tenaga kerja dan sebagainya.
Sehingga dibutuhkan berbagai macam terobosan oleh Pemprov Sulbar setidaknya dalam hal peningkatan produksi pertanian, perikanan, dan menyiapkan tenaga kerja terampil.
Secara garis besarnya ada 2 pertanyaan mendasarnya yaitu: Sejauhmana kesiapan Prov Sulbar dalam menyangga kebutuhan ibukota baru? Dan sejauh mana kehadiran ibukota baru bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Barat yang akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat Sulbar?
Untuk menjawab pertanyaan ini maka marilah kita lihat fakta fakta sektor pertanian, perikanan, peternakan dan ketersedian tenaga kerja terampil di Sulbar.
Untuk sektor pertanian, sebagaimana data yang dikemukanan BPS Sulbar dan Kepala Balai Pengkajian Teknologi Sertanian Sulbar (dalam dialog akhir tahun: “Sulbar sebagai penyangga Ibukota” yang diselenggarakan oleh harian Radar Sulbar, Senin (23/12/2019) bahwa produksi padi Sulbar mengalami penurunan 20.000 ton dibanding 2018.
Dimana pihak Kementerian Pertanian menegarai sebagai akibat dari ketiadaan swasembada bibit. Namun jika dilihat kita menelaah lbih jauh problemnya bukan hanya dua hal yang dikemukakan diatas, sebab masih terdapat berbagai problem lain seperti ketiadaan sarana irigasi yang menyebabkan sebagian petani di Sulbar hanya mengandalkan sawah tadah hujan yang hanya bisa panen sekali setahun.
Belum lagi ancaman resiko gagal panen. Selain itu support pemerintah terhadap sektor pertanian masih tergolong rendah terutama dalam hal bantun peralatan pertanian, sehingga biaya tanam dan panen kian meningkat, belum lagi petani harus dihadapkan pada mahalnya harga bibit, pupuk yang pada akhirnya biaya produksi padi semakin tinggi yang menyebabkan harga gabah hampir equivalen dengan biaya produksinya.
Sehingga selain produktivitas dan potensi peningkatan hasil produksi menjadi rendah para petani juga kian sulit meningkatkan kesejahteraannya. Padahal jika sitem irigasi ada maka petani padi bisa panen 2 atau 3 kali setahun, petani juga bisa menerapkan sistem tumpang sari dengan menanam padi dan memelihara ikan diatas lahan yang sama dalam waktu bersamaan sehingga akan berdampak pada peningkatan hasil panen yang akan berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan mereka.
Demikian juga halnya dengan produksi jagung, dimana para petani kita juga diperhadapkan pada tingginya harga bibit, pupuk, serta minimnya bantuan alat pertanian yang juga berdampak pada tingginya biaya produksi. Belum lagi petani harus berhadapan dengan fluktuasi harga ato permainan harga oleh tengkulak yang merugikan petani karena ketiadaan pricing police oleh pemerintah daerah.
Problem lainnya untuk beberapa komuditas lain seperti jagung, kopra, jeruk, pisang dan lain-lain adalah, kita masih sebatas mengirim komuditas tersebut dalam kondisi belum dioleh sehingga nilai keekonomiannya rendah. Sehingga implikasinya menjadi tidak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan petani.
Oleh karena itu, kedepannya dibutuhkan upaya pemerintah agar memberikan suport berupa bantuan peralatan pengelolan hasil-hasil pertanian untuk menambah nilai keekonomian dari komoditas yang memang menjadi unggulan di Sulbar misalnya jagung dan pisang menjadi produk makanan jadi, pakan ternak dan lain sebagainya.
Untuk sektor peternakan para petani kita dihadapkan pada beberapa kendala seperti modal yang belum memadai, tingginya harga bibit, untuk unggas harga DOC tinggi, tingginya harga pakan, akses bibit dan pakan berkualitas, jadi susah akibat perilaku monopoli oleh korporasi, yang menyebabkan biaya produksi makin tinggi dan produktivitas peternak semakin rendah.
Untuk sektor lapangan kerja sebagaimana data yang disampaikan BPS Sulbar bahwa jumlah pengangguran Sulbar tahun 2019 berkisar 21.000-an dari angka 645.000-an angkatan kerja atau sekitar 3.3 % yang mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Jika kita mencermati kondisi Sulbar maka kita menemukan 2 hal mendasar yang menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah penganguran, yaitu lapangan kerja yang belum memadai yang disebabkan oleh minimnya pertumbuhan usaha baru baik makro maupun mikro (UMKN), yang menurut para pelaku usaha Sulbar yang hadir dalam diskusi akhir tahun adalah masih regulasi dibidang usaha yang belum memberi suport terhadap pertumbuhan dunia usaha.
Misanyan proses panjang dan berbelit belitnya dalam mengurus perizinan, akses permodalan dan lain-lain. Disisi yang lain rendahnya kompetensi kerja juga turut berkontribusi positif terhadap semakin meningkatnya pengangguran di Sulbar.
Atas fakta- fakta diatas dan berbagai fakta lain, maka jelas bahwa untuk menjawab siap atau tidak siapnya Sulbar sebagai penyangga ibu kota, sangat bergantung pada political will dan politik anggaran Pemprov Sulbar.
Berikutnya adalah melakukan berbagai terobosan-terobosan berupa program program yang bersifat produktif untuk menyelesaikan berbagai problem mulai dari sektor pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata dan sumber daya manusia sebagai jawaban atas kesiapan pemprov dalam menyangga ibukota baru yang akan berimpilkasi pada peningkatan ekonomi yang variannya adalah tercapainya kesejahteraan bagi rakyat Sulbar.
Isi tulisan menjadi tanggung jawab penulis