Oleh Haidir Fitri Siagian
Dosen UIN Alauddin Makassar.
SETELAH anak anak kami tamat SD. Saya bukan hanya sekedar meragukan kewarasan dalam keputusan suami untuk menyekolahkan putra putri kami ke pesantren penghafal al- Qur’an.
Saya menangisinya siang malam selama berhari-hari. Bagaimana nasib masa depan mereka jika hanya berbekal hafalan, sementara persaingan belajar menuju kursi terbaik di universitas kelak akan semakin ketat?
Berat sekali mencerna keputusan itu. Belum lagi menghadapi alis terangkat dan senyuman aneh beberapa orang terdekat di sekitar kami yang turut mempertanyakan hal itu.
Tetapi di hari-hari ini, setidaknya hingga di sore tadi lepas Asyar, kukesali diriku karena tidak serta merta menyadari mutiara dalam cangkang berlumut yang disodorkan suami sekitar setahun dua tahun terakhir ini. Piciknya aku mengukur masa depan sebatas dunia, universitas dan gengsi.
Sulit kugambarkan perasaanku sebagai ibu, setiap kali kembali dari pondok menjenguk anak. Sungguh saya dan ayahnya tidak akan mampu membawanya kepada keadaannya yang sekarang, jika dia tetap ada bersama kami, di rumah, meneruskan kebiasaan kebiasaannya yang dulu.
Tidak kusangka bahwa dulu, sayalah yang menasehatinya kepada kebaikan, dan kini, giliran saya yang diluruskan, dengan dalil dan ayat pula. Dalil yang dia beri masih sangat sederhana dan mudah digulung sebenarnya, tetapi karena disampaikan oleh seseorang yang kemarin masih berada dalam timanganku, bagaimana hatiku tidak akan gemetar malu?
Sore ini, numpang sholat di kamar pondoknya yang serba sederhana, telingaku riuh oleh dengungan puluhan santri berjuang menghafal kalimah kalimah Allah. Saya merasa ciut dan malu. Ketika kupeluk putri kecilku di gerbang pondoknya, ia berpesan lagi, “Tak usah beli baju baru lagi Bu untukku, lebaran, bijaksana ki’ sedikit pake uang ta.”
Malu saya, Tuhan. Malu saya pernah menyangsikan kuasa-Mu. Kutinggalkan pondok penuh kesahajaan itu dengan hiasan warna warni suara yang serupa nyanyian dari syurga, teduh dan bening.
Belum cukup dengan keharuan yang kurasa, masih lagi saya dihadiahi-Nya satu nasihat kecil sesaat sebelum pergi. Ketika berbalik untuk melambai terakhir kalinya di sore ini, satu papan kecil tak jauh dari tempat putri kecilku berdiri kubaca pesan cinta itu:
Sudahkah kau bersyukur hari ini?
Peo, Belabori, 27 Mei 2018