Oleh: Ilham Muslimin*
Malang, 1 April 2017 adalah sejarah baru di Ikatan Pelajar Mahasiswa Sulawesi Barat Malang (IPMA SULBAR MALANG). Bagaimana tidak, kegiatan “SIPAITA” ini sebagai ajang silaturahmi mahasiswa yang ada di Malang, tapi pada SIPAITA II kali ini membuka undangan terbuka untuk mahasiswa yang ada di pulau Jawa.
Acara ini dilaksanakan selama dua hari, yakni mulai dari tanggal 1 sampai 2 April 2017 di Villa Singkaling Indah, Batu, Kota Malang. Acara ini dihadiri Ikatan Pelajar Mahasiswa Polewali Mandar Yogyakarta (IPMPY), Komunitas Mahasiswa Mandar Malang (KOMANDANG)—suatu wadah atau tempat berkumpulnya mahasiswa keturunan Mandar dari berbagai daerah, bergerak di bidang kesenian.
“IPMA Sulbar Malang sebagai tuan rumah sangat bersyukur bisa bertatap muka dengan saudara-saudara yang ada di berbagai daerah, terutama yang ada di perantauan dalam acara SIPAITA II, di mana acara ini untuk kedua kalinya dilaksanakan sejak terbentuknya IPMA,” kata Ketua IPMA Sulbar Malang, Nurhikmah.
SIPAITA berarti bertatap muka dengan satu sama lain agar tetap menjaga silaturahmi dan solidaritas di perantauan, khususnya di Malang, untuk kalangan mahasiswa sesuai dengan tema “Mempererat Tali Kekeluargaan dan Menangkan Nilai Kedaerahan Menuju IPMA Sulbar yang Harmonis”.
SIPAITA II ini juga mempertemukan cucu-cucu nenek moyang Mandar. Sehingga suasana acara ini serasa di Mandar, Sulawesi Barat. Apa lagi dihibur dengan petikan sayang-sayang oleh maestro mahasiswa jurusan Etno Musikologi ISI Jogja, Hasanuddin Latif, dan berbagi cerita mengenai kehidupan di tanah rantau dalam berorganisasi maupun pengalaman hidup.
Setelah menyaksikan acara ini, bisa dikatakan orang Mandar adalah orang perantau. Karena di KOMANDANG yang diketuai oleh Darmawiansyah dari Kalimantan Selatan, sangat fasih berbahasa Mandar meskipun mereka tidak pernah ke tanah leluhurnya. Bahkan salah satu dari mereka mengatakan, waktu pertama tiba di Malang untuk mencari tempat tinggal, mereka dikira teroris.
“Karena KTP kami Madura tapi tidak bisa berbahasa Madura, bisanya berbahasa Mandar,” ujarnya hingga membuat suasan jadi riuh bergembira.
KOMANDANG ini orang-orangnya lebih fasih berbahasa Mandar dibanding orang-orang yang ada di dalam IPMA Sulbar dan IPMPY. Padahal sebagian mereka belum pernah menginjakkan kakinya di Mandar. Maka dari itu, melihat fenomena ini sangat mengherankan. Kami hanya bisa menyimpulkan bahwa penguatan histori Mandar harus dilestarikan di Sulawesi Barat, dan meskipun jarak yang memisahkan kita tapi nenek moyang kita adalah orang Mandar.
Kakek-nenek moyang kami berpesan, “Issangi siriq di banuanna tau; Mellete di atonganan; Itaq mammesa itaq melulluareq.” Itulah landasan kami di tanah rantau karena, sekali lagi, kakek-nenek kami orang Mandar.
Ilham Muslimin
Mahasiswa Tata Kelola Seni Institute Seni Indonesia
Koordinator IKAMA Sulbar Bidang Pengembangan Minat dan Bakat