Oleh Yulhasni
Ketua KPU Sumatera Utara
Salah satu usaha untuk membuat pelaksanaan Pemilu 2019 tidak berkualitas adalah meletakkan penyelenggara sebagai pesakitan. Dengan demikian legitimasi hasil Pemilu 2019 akhirnya bisa digiring ke opini tidak berkualitas. Itulah yang terbentang sekarang menjelang Pemilu 2019 ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) disoal tentang berbagai hal. Terakhir dan paling anyar tentang penggunaan kotak suara dari bahan karton kedap air (duplex) yang oleh sebagian masyarakat kita menyebutnya dengan ‘kardus.’ Berbagai informasi simpang siur dan meme memplesetkan hal itu bersileweran di beranda media sosial. Seluruh penyelenggara Pemilu (KPU dan jajarannya) di Indonesia memang harus mengurut dada menahan kesabaran terhadap tudingan yang menyakitkan tersebut.
Jika mencermati tahapan Pemilu 2019, bukan pertama sekali KPU diposisikan sebagai pesakitan. Menjelang penetapan Daftar Pemilih Tetap Hasil Perbaikan-2 (DPTHP-2) sudah mulai suara-suara miring mengarah ke KPU. Hal itu bermula ketika KPU melansir sebanyak 31 juta penduduk Indonesia yang berpotensi sebagai pemilih belum masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Salah satu kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden menuding data tersebut disinyalir diselundupkan. Mereka menyebut sebagai data siluman. Masyarakat kembali menelan informasi tersebut dengan mentah-mentah dan KPU kemudian berada sebagai pihak yang disalahkan.
Jika dicermati, tidak ada ada data yang siluman. Data tersebut muncul dari selisih DPT KPU yang ditetapkan 5 September 2019 dan Daftar Penduduk Pemilih Potensial Pemilu (DP4) yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Desember 2017. Angka 31 juta bukanlah angka siluman yang muncul dari negeri antah-berantah atau hasil trik sulap, demikian komisioner KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi ke berbagai media meluruskan berita hoax tersebut.
Setelah hoax itu dikonsumsi mentah-mentah oleh masyarakat kita, KPU kembali ‘diserang’ telah berpihak dengan memasukkan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) sebagai pemilih dalam DPT. Informasi tidak benar (hoax) tersebut jadi bola salju yang menggelinding tak tentu arah. Anehnya, sejumlah pihak menuding hal itu terkait dengan usaha KPU memenangkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019. Energi penyelenggara Pemilu terkuras untuk meluruskan informasi sesat tersebut dalam berbagai kesempatan.
Meski KPU mampu memasang perisai atas serangan tersebut, tetapi senjata lain dimunculkan. Itulah yang kini dikonsumsi masyarakat kita sebagai bahan lelucon politik. Berbagai meme tentang kardus setiap saat muncul di beranda media sosial kita. Padahal jika kembali ke belakang, jenis kotak suara seperti ini sudah digunakan pada Pemilu 2014. Bahkan pada perhelatan Pilkada 2015, 2017, dan 2018 sejumlah daerah sudah menggunakan kotak suara sejenis ini karena beberapa kotak suara berbahan aluminium tidak bisa lagi digunakan. Perbedaannya, kotak suara saat sekarang lebih transparan atas perintah UU No 7 Tahun 2017 pasal 341 yang menyebutkan kotak suara harus transparan. KPU diberikan mandat untuk mengatur bentuk, ukuran, dan spesifikasi teknis kotak suara. KPU lalu mengeluarkan PKPU Nomor 15 tahun 2018 tentang Norma, Standar, Prosedur Kebutuhan Pengadaan dan Pendistribusian Perlengkapan Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Pada Pasal 7 disebutkan kotak suara terbuat dari bahan karton kedap air yang pada satu sisinya bersifat transparan dan merupakan barang habis pakai.
Seseorang yang mengaku pegawai KPU di salah satu kabupaten mengirim curahan hati ke berbagai media sosial. Dalam tulisan itu ia mengatakan bahwa dari hasil dengar pendapat antara KPU dengan DPR, Kemendagri, perwakilan partai politik pada Maret 2018, tidak ada yang menolak, termasuk walk out terhadap draf PKPU yang mengatur tentang logistik Pemilu, khususnya kotak suara. Draft PKPU ini pun diajukan kepada Kemenkumham untuk diundangkan. Draft ini tidak mendapat koreksi pada bagian spesifikasi kotak suara. Artinya telah sesuai dengan amanat Undang-undang. Artinya kotak suara aluminium yang dahulu dipakai tidak sesuai dengan syarat transparan yang diamanatkan.
Curahan hati seseorang itu secara keseluruhan dapat dinobatkan sebagai keluhan hati seluruh penyelenggara Pemilu di jajaran KPU terhadap berbagai tudingan tersebut. Memang terasa aneh dan penuh rekayasa politik ketika pengadaan kotak suara kedap air tersebut dikaitkan dengan kecurangan Pemilu. Hal yang lebih membuat kita miris, ketika sejumlah anggota legislatif mempertanyakan hal tersebut meski pada awalnya mereka menyetujui.
Masyarakat kita memang dengan mudah termakan informasi menyesatkan. Berita bohong telah jadi industri dalam demokrasi. Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Deddy Mulyana dalam satu kesempatan di sebuah media massa mengatakan, karakter asli masyarakat Indonesia yang tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat, merupakan salah satu faktor mudahnya menelan berita palsu (hoax) yang disebarkan dengan sengaja. Ia berkata, sejak dulu orang Indonesia suka berkumpul dan bercerita. Disebutkannya budaya kolektivisme ini tidak diiringi dengan kemampuan mengolah data. Kita tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data. Sedangkan media sosial, sebagai sumber berita hoax, adalah kepanjangan pancaindera manusia.
Tentu hal yang wajar bagi KPU untuk segera meluruskan berita bohong tersebut agar kualitas Pemilu 2019 lebih baik. KPU memiliki elemen data untuk dijelaskan ke publik. Adalah langkah positif ketika Ketua KPU Arief Budiman dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa perdebatan soal kotak suara ini seharusnya terjadi 5 tahun lalu karena jenis ini sudah dipakai sejak pemilu sebelumnya. Hal tersebut penting disampaikan di tengahn isu-isu Pemilu yang kerap jadi senjata untuk menyerang KPU di saat kekuatan politik pihak tertentu tidak mampu merangkul suara rakyat.
Foto : Tribun Surabaya