Seni Budaya Jawa Wonomulyo Melawat ke Tanah Jawa (2)

Kawulo Bantarangin fokus ke pendidikan, dalam balutan yayasan dan dikelola secara mandiri. Mereka menyebut diri mereka masih awal sekali.
Sanggar ini baru berdiri baru enam tahun lalu di Ponorogo dan menjadi salah satu sanggar dengan siswa terbanyak di Ponorogo. Mereka memeluk sistem edukasi, kekaryaan dan pelestarian, ini basis atau platform organisasi mereka.

Siswanya mulai dari umur tiga tahun sampai tidak terbatas, tidak hanya yang muda tapi ada juga yang berumur 40 tahun ke atas.
“Kami beruntung lahir di Ponorogo,” jelas Mas Miftah, selaku pimpinan produksi Sanggar KaBa ini.

Miftah, pimpinan produksi Sanggar KaBa ini menjelaskan bahwa mereka sudah sampai ke generasi ketiga. “Pegiat kami ada yang pelajar, ada siswanya yang masih kelas empat SD sudah pentas di Istana Negara,” jelas Miftah.

Di Kawulo Bantarangin ada kelas tari, olah vokal, kelas pengrawit, dan kelas reog. Mereka mengembangkan gamelan secara mandiri.
“Kami membagi waktu kelas putra dan putri, dan setiap tahun itu kami ada siswa 250 siswa dan kami membuat kurikulum tersendiri sampai mengadakan ujian untuk mengukur kemampuan siswa tentu juga dibarengi kenaikan kelas,” beber Miftah dalam sesi dialog.

Lebih lanjut Miftah menjelaskan bahwa setiap siswa saat masuk mereka langsung dibagikan kaos, jarik dan stagen. Sanggar Tari Kawulo Bantarangin yang berbasis sekolah ini menerapkan sekolah dengan menggunakan seragam ketika masuk kelas.

Menurut Miftah jarik dan stagen merupakan bentuk pendidikan karakter bagi siswa. “Kami memungut SPP 35.000 setiap bulan dengan bebas mengikuti 4 kelas,” jelasnya.

Prestasi Kawulo Bantarangin sudah beberapa kali menjuarai even lokal dan nasional.

“Apa yang kami lakukan hari ini bersama teman-teman dari Sulawesi Barat, kami juga selalu melakukan sharing ilmu dengan sanggar lain dari daerah lain juga,” urai Miftah.

“Yang jelas bagi kami, bagaimana reog ini terus bisa diregenerasi,” tutup Miftah. (WM/*)